Friday, January 6, 2012

Membaca Indah Puisi

Membaca puisi ada dua macam, yaitu membaca untuk diri sendiri dan membaca untuk orang lain. Membaca puisi untuk orang lain pada dasarnya sama dengan mengkonkretkan puisi tersebut baik dalam bentuk audio maupun visual. Pembacaan demikian disebut juga deklamasi. Deklamasi sebagai suatu proses, melibatkan (1) puisi yang dibaca, (2) pembaca, dan (3) pendengar.Dalam proses pembacaan tersebut, peran pembaca amat dominan untuk menghidupkan puisi agar dapat dinikmati oleh pendengar. Artinya, pembacalah yang paling banyak melakukan kegiatan dalam proses pembacaan puisi. Kegiatan yang dilakukan pembaca ialah memahami makna puisi dan mengkreasikan puisi tersebut dalam bentuk suara dan gerak. Oleh karena itu, pembaca harus memerhatikan (1) pemanfaatan alat ucap yang dimiliki, (2) menguasai faktor kebahasaan (pelafalan kata atau frasa dan intonasi suara), (3) menguasai faktor-faktor nonkebahasaan (sikap tenang dan wajar, gerak-gerik dan mimik, volume suara, kelancaran, dan ketepatan).


1. Menulis Puisi    
Menulis merupakan kegiatan melahirkan pikiran dan perasaan. Menulis puisi biasanya merupakan ekspresi dari hati. Keindahan alam  dan peristiwa yang pernah dialami dapat dituangkan dalam puisi.
Perhatikanlah dengan saksama puisi “Tanah Kelahiran”
karya Ramadhan KH berikut. 
Contoh Puisi
Diponegoro

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar! Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati


MAJU
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguh pun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang




Diponegoro
   
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar! Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguh pun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang






  TANAH KELAHIRAN
(Karya: Ramadhan KH)
Seruling di pasir ipis, merdu
 Antara  gundukan di pohon pina,
 Tembang menggema di dua kaki,
 Burangrang-Tangkubanprahu
  Jamrut di pucuk-pucuk
   Jamrut di air tipis menurun.
 Membeli  tangga di tanah merah
 Dikenal gadis-gadis dari bukit,
 Nyanyikan kentang sudah digali,
 Kenakan kebaya merah ke pewayangan.
  Jamrut di pucuk-pucuk,  
   Jamrut di hati gadis menurun.

Puisi di atas melukiskan suasana lingkungan, manusia, dan 
suasana tanah kelahiran. Suasana yang digambarkan, ada
suara merdu seruling di suatu tempat (Pasir Ipis) di antara
gundukan pohon-pohon pina, disertai lagu yang menggema
di antara dua kaki gunung, yaitu gunung Burangrang dan
Tangkuban Perahu. Ada pula butir-butir jamrut di pucuk-
pucuk pepohonan dan di air yang tipis yang menyelusur
turun. Ada juga tangga-tangga tanah yang melingkar dan
membelit di tanah merah yang tidak asing lagi bagi gadis-
gadis dari bukit itu. Gadis-gadis itu bernyanyi di saat
kentang sudah digali. Mereka mengenakan kebaya merah.
Mereka berhati jamrut

No comments: