CONTOH ANALISIS STRUKTUR
PUISI
Puisi adalah bentuk
kesusastraan yang paling tua. Puisi termasuk karya sastra, dan semua karya
sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak
digunakan makna kias dan makna lambang. Dibandingkan dengan bentuk karya sastra
yang lain, puisi, lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih banyak mengandung
kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengonsentrasian atau
pemadatan segenap kekuatan bahasa dalam puisi. Apabila dilihat dari segi bentuk
penulisannya, puisi memiliki suatu tata wajah atau penampilan khusus di atas
kertas, yang biasa disebut tipografi.
Pada dasarnya untuk memberikan pengertian puisi secara
memuaskan cukup sulit. Adapun pengertian puisi menurut Waluyo (1987:25)
beberapa yang dapat dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan sebagai
berikut.
a. Dalam puisi terjadi pemadatan segala
unsur kekuatan bahasa;
b. Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa
itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya
dengan memperhatikan irama dan
bunyi;
c. Puisi adalah ungkapan pikiran dan
perasaan penyair yang berdasarkan pengalaman jiwa dan
bersifat imajinatif;
d. Bahasa yang dipergunakan bersifat
konotatif; hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan,
dan pengiasan, atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
e. Bentuk fisik dan bentuk batin puisi
merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisahkan dan merupakan
kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah
unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu
hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhannya.
Selain itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri
artinya mempunyai saling keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain.
Jalinan unsur-unsur yang terdapat dalam struktur fisik dalam membentuk kesatuan
dan keutuhan puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih
lengkap dari sekadar kumpulan unsur-unsur. Puisi itu mengekspresikan pemikiran
yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam
susunan yang berirama, merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia
yang penting.
Dengan demikan, setiap unsur yang terdapat dalam puisi
tersebut memiliki saling hubunga antara yang satu dengan yang lain untuk
terbentuknya suatu kesatuan makna dari sebuah puisi.
A. Tema Puisi
Sebelum membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna
puisi harus ditafsirkan dan bukan makna secara langsung yang dapat diketahui.
Djojosuroto menambahkan untuk langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan
menafsirkan konteks dalam linguistik berupa alat-alat linguistik yang secara
eksplisit digunakan dalam ujaran (2005:24). Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan kata dan hubungan antar kalimat dalam tiap baris puisi tersebut.
Jika hal demikian dilakukan, akan diperoleh penafsiran yang tidak berbeda
dengan maksud penyairnya. Sehingga pokok pikiran atau tema pada puisi dapat
diketahui.
Setiap wacana tentu memiliki tema atau hal pokok yang
menjadi topik pembicaraan, begitu pula pada wacana sastra khususnya pada puisi
juga memiliki tema di dalamnya. Tema puisi adalah gagasan pokok yang
dikemukakan penyair lewat puisinya (Djojosuroto, 2005:24). Tema puisi biasanya
mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih,
ketakutan, kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran,
ketuhanan, kritik sosial, dan protes.
Tema dapat dijabarkan menjadi subtema atau dapat dikatakan pokok pikiran.
B. Nada Puisi
Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu nada tertentu dari
pembawaan sikap penyairnya. Nada atau sikap pada puisi sering dikaitkan dengan
suasana. Jika nada berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan
sikap penyair terhadap pembaca (tone), maka suasana berarti keadaan perasaan
yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap
oleh panca indera. Nada berhubungan dengan tema dan pembaca. Nada yang
berhubungan dengan tema menunjukkan sikap penyair terhadap objek yang
digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek seorang perampok, penyair dapat
bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada yang
berhubungan dengan pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada
menghasut, nada santai, nada filosofis, dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang dikemukakan penyair harus
sesuai. Hanya dengan cara demikian tafsiran atas makna sebuah puisi dapat
mendekati ketepatan yang dikehendaki penyair. Cara menafsirkan puisi
diantaranya ialah dengan meninjau bahasa yang digunakan oleh penyair, yaitu
menentukan konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi (hubungan struktur antar
kalimat) dan koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna puisi tidak hanya
ditentukan oleh kata dan kalimat secara lepas, akan tetapi ditentukan oleh
hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik kalimat sebelumnya dan
sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).
C. Suasana Puisi
Dalam puisi diungkapkan perasaan penyair secara totalitas.
Puisi dapat mengungkapkan perasaan gembira, sedih, terharu, takut, gelisah,
rindu, penasaaran, benci, cinta, dendam, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan,
penyair mengerahkan segenap kekuatan bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaan
yang bersifat total (Tarigan, 1984:5). Bahasa memiliki fungsi simbolik, emotif,
dan afektif (Suriasumantri, 1985:181; Djojosuroto, 2005:26). Di dalam puisi,
ketiga fungsi bahasa itu dimanfaatkan. Unsur emotif mendapat porsi yang lebih
dominan.
D. Struktur Fisik
Puisi
1. Bunyi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi
bersifat estetik, unsur puisi yang bertugas untuk memberikan keindahan dan
tenaga ekspresif. Bunyi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah
puisi, juga mempunyai peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam
ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau
menimbulkan suasana yang khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga digunakan
sebagai orkestrasi untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan bunyi
vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama
seperti bunyi musik, dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan,
imaji-imaji dalam pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya
(pembacanya).
Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu itu biasanya disebut
efoni (euphony), atau bunyi yang indah. Orkestrasi bunyi yang merdu ini
biasanya dipergunakan untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau
cinta, serta hal-hal yang meng-gembirakan. Misalnya terlihat pada sajak
Soeparwoto Wiraatmadja berikut ini.
SENANDUNG NATAL
Nyanyi suci di dalam hati
Mengalun setanggi sesela hati
Adik mengapa dikau sendiri
Bersama abang mari ziarah ke gereja
suci
Sunyi hati di gelap hari
Serangga mati di nyala api
Kristus janganlah pergi sertai kami
dalam sepi jalan sendiri
Dan bulan, kerinduan yang dalam
menikam nurani pengembara di
perlawatan
Tuhan di palungan betapa pun
kebesaran
Manusia nikmat tertidur di peristirahatan
Nyanyi suci di malam sepi
Mengalun hati diayun setanggi
Adik mari berlutut di sini
Tuhan hadir bagi insani
Sunyi suci di gelap dini
Berayun hati digetar nyanyi
Dan adik mari bukakan diri
Kristus istirahatlah di hati kami
Kristus! Lindungilah dan berkati
Ajar kami berendah hati
Dan biarlah tanganmu suci
di dahi kami tersilang aman abadi
(Kidung Keramahan, 1963; Apresiasi
Puisi, 2005)
Bagi umat
Kristen, malam Natal adalah malam bahagia untuk merayakan kelahiran Yesus
Kristus Sang Penebus. Penyair mengajak kekasihnya merayakan malam Natal dengan
ziarah ke gereja suci. Kerinduan akan kehadiran Sang Penebus begitu dalam
menikam pengembaraan di dalam perlawatan. Hal ini tampak pada bunyi-bunyi yang
dimunculkan penyair dengan bunyi vokal i pada kata ziarah dan suci, kesyahduan
rindu yang dalam digambarkan dengan bunyi vokal a berkombinasi dengan bunyi
konsonan m dan n pada kata pengembaraan
dan perlawatan. Di setiap malam Natal akan terdengar lagu malam sunyi. Di
malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu, penyair mengajak kekasihnya membuka
diri agar Kristus masuk ke hati sanubari manusia.
Selain
bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan kombinasi-kombinasi
bunyi yang tidak merdu, parau disebut kakafoni (cacophony). Seperti pada sajak
Hamid Jabbar berikut ini.
AROMA MAUT
Berapa jarak antara hidup dan mati,
sayangku
Barangkali satu denyut lepas, o, satu
denyut lepas
Tepat saat tak jelas batas-batas,
sayangku
Segalanya terhempas, o, segalanya
terhempas!
(Laut masih berombak, gelombangnya
entah ke mana-mana
Angina masih kembali berhembus,
topannya entah ke mana,
Bumi masih beredar, getarnya sampai
ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi
sendiri, ke mana?)
Berapakah jarak antara hidup dan
mati, sayangku?
Barangkali hilir mudik di satu titik
Tumpang-tindih merintih dalam satu
nadi, sayangku:
Sampai tetes embun pun selesai, tak
menitik!
(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Getar lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak
bisa lain!)
(Wajah Kita, 1981; Apresiasi Puisi,
2005)
Puisi di
atas menceritakan bahwa jarak antara hidup dan mati dilambangkan dengan
barangkali satu denyut lepas. Penyair membayangkan kematian itu begitu pasti
kedatangannya, tiap manusia yang hidup di dunia suatu saat akan menghadapi
kematian. Perpaduan bunyi yang terdapat pada larik-larik dalam puisi “Aroma
Maut” lebih dominan memperdengarkan bunyi-bunyi konsonan tak bersuara yang
mengesankan bunyi-bunyi kakafoni, seperti adanya bunyi p, s, t, dan k. Sehingga
sebagian besar bunyi-bunyi yang terdengar begitu parau dan sangat tidak merdu.
Hal ini sangat mendukung tema puisi yang menggambarkan kematian sebagai suatu
yang tidak menyenangkan untuk sebagian besar orang yang hidup di dunia.
Begitulah,
unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas tanggapan, dan
memperdalam perasaan. Menurut Slametmuljana dalam puisi bunyi kata itu di
samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga untuk orkestrasi,
digunakan juga sebagai peniru bunyi atau onomatope, lambang suara
(klanksymboliek), dan kiasan suara (klankmetaphoor) (Pradopo, 2007:32).
Bunyi-bunyi juga mempunyai suatu simbolik sehingga dengan bunyi-bunyi dapat
diciptakan suasana, perasaan, dan kesan tertentu (Luxemburg, 1992:193).
Asosiasi pribadi turut memainkan peranan dalam penafsiran. Sehingga terjadi
onomatope bila suatu bunyi tertentu ditiru, seperti ‘ngiau’, ‘ngeong’, ‘dorr’,
‘crott’, dan lain sebagainya. Jadi Wellek dan Warren (1995:200) menyimpulkan
bahwa onomatope yakni kelompok kata yang agak menyimpang dari sistem bunyi
bahasa pada umumnya. Onomatope disebut juga dengan peniruan bunyi. Peniru bunyi
dalam puisi kebanyakan hanya memberikan saran tentang suara sebenarnya.
Onomatopemenimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak menunjukkan
adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk, sebab dalam puisi diperlukan
kejelasan. Seperti peniruan suara tangis manusia yang diasosiasikan menjadi
bunyi angin pada penggalan sajak “Tuhan Telah Menegurmu” karya Apip Mustopa berikut
ini.
TUHAN TELAH MENEGURMU
Tuhan telah menegurmu dengan cukup
sopan
Lewat perut anak-anak yang kelaparan
Tuhan telah menegurmu dengan cukup
sopan
Lewat semayup suara adzan
Tuhan telah menegurmu dengan cukup
menahan kesabaran
Lewat gempa bumi yang berguncang
Deru angin yang meraung-raung kencang
Hujan dan banjir yang
melintang-pukang.
(Laut Biru Langit Biru, 1977;
Apresiasi Puisi, 2005)
2. Kata
Satuan arti
yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata. Untuk
mencapai nilai seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat menggunakan
berbagai cara, terutama alatnya yang terpenting adalah kata, karena kata dapat
menjelmakan pengalaman jiwa si pengarang dalam karya yang dihasilkannya.
Menurut Aminuddin (1995:201) gaya pemilihan kata atau kata-kata dalam karya
sastra adalah cara penggunaan kata atau kata-kata dalam teks sastra sebagai
alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis tertentu. Jadi, kata memiliki
arti dan efek tertentu yang akan ditimbulkannya. Di antaranya adalah arti
denotatif dan konotatif, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan dan gaya bahasa,
citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau kalimat
puisi, yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan pengalaman jiwa
dalam sajak-sajaknya. Kata-kata yang telah digunakan oleh penyair ini disebut
kata berjiwa, yang tidak sama artinya dengan kata dalam kamus, yang harus
melalui proses pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan perasaan-perasaan
penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata berjiwa sudah diberi suasana tertentu.
Kata-kata
dalam tiap sajak merupakan cerminan kepribadian penyair, yaitu suatu bentuk
pengekspresiannya yang bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu, penyair
mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya, misalnya pada
sajak Emha Ainun Najib berikut ini.
PUTIH, PUTIH, PUTIH
Meratap bagai bayi
Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
….
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi
Puisi, 2005)
Untuk
menggambarkan penyesalannya penyair menggambarkan dirinya meratap bagai bayi,
dan menunjukkan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan, penyair menggunakan
kata-kata: terkapar bagai si tua renta. Rasa tidak berdaya orang yang sudah
renta, yang tidak sanggup mengerjakan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan
orang lain, lebih terasa konkret dari pada kata “lemah”.
Penggunaan
kata pada puisi populer juga diupayakan untuk menimbulkan efek tertentu dan
melahirkan pengalaman jiwa penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini ditinjau
dari arti kata yang meliputi pemilihan kata (diksi), denotasi dan konotatif,
bahasa kiasan, citraan, serta hal-hal yang berhubungan dengan struktur
kata-kata atau kalimat puisi, yang semuanya digunakan penyair untuk
menggambarkan perasaan dan pengalaman jiwanya dalam tiap sajaknya. Sama halnya
dengan penyair pada umumnya, mereka yang termasuk penulis puisi populer
tentunya mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya.
a) Pemilihan Kata
Menurut
Pradopo (2007:54-58) pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Alat untuk
menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya
tergantung kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata. Kehalusan perasaan
sastrawan menggunakan kata-kata sangat diperlukan. Selain itu, perbedaan arti
dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai pemakaianya. Seorang penyair dapat
menggunakan kata-kata kuna yang sudah mati, tetapi harus dapat menghidupkannya
kembali. Oleh karena itu, penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab
kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam
rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan
kata dalam keseluruhan puisi (Waluyo, 1987:72). Sejalan dengan Aminuddin
(1995:201) yang menyatakan bahwa gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra
adalah cara penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk
menyampaikan gagasan dan nilai estetik tertentu. Jadi, pemilihan kata yang
tepat harus dipertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari
kata-kata tersebut agar selain makna dalam sebuah puisi, aspek estetis juga
perlu diperhatikan.
Penyair
dalam puisinya terkadang menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah.
Penggunaan kata daerah ini secara estetis harusdapat dipertanggung-jawabkan,
artinya harus dapat menimbulkan efek puitis, atau dimungkinkan dalam bahasa
Indonesia kata-kata itu tidak ada (Pradopo, 2007:52-53). Selain itu penyair
juga biasa menggunakan istilah-istilah atau kata-kata dalam bahasa asing atau
perbandingan asing, serta kalimat-kalimat bahasa asing. Penggunaan kata-kata
dalam bahasa asing ini pun harus dapat memberi efek puitis. Dalam hal ini,
penyair bermaksud agar karyanya dapat dimengerti oleh kalangan luas dan memberi
efek universal. Oleh sebab itu, penggunaan atau perbandingan itu harus sudah
dikenal umum, atau sudah populer. Misalnya pada sajak Rita Oetoro berikut ini.
RAYUAN SERAYU
panjang berliku-liku – seperti
ular naga – airmu mengalir turun
dari pegunungan, baur dalam
“kembang glepang” tanah pedataran.
panjang berliku-liku adalah
episode masa remaja yang jauh
….
panjang berliku-liku – wahai
dikau serayu – terpendam kerinduan
sepanjang hayatku.
(Kawindra, 1994; Apresiasi Puisi,
2005)
“Kembang
glepang” suatu istilah yang digunakan orang Jawa untuk penataan rambut
gadis-gadis Jawa atau pun Bali yang berbentuk kuncir dan ditambah dengan hiasan
berupa bunga melati pada celah-celah pangkal kunciran rambutnya, gadis yang
menggunakan kunciran seperti itu akan terlihat cantik bagi yang memandangnya.
Jadi dalam puisi Rayuan Serayu menggambarkan suatu kenangan indah yang begitu
banyak lika-liku namun tetap terasa manis untuk selalu diingat, selayaknya
melihat gadis yang berambut “kembang glepang”. Oleh karena itu, penggunaan
kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya yang realistis, sedangkan
penggunaan kata-kata yang indah dapat memberi efek romantis.
b. Denotasi dan Konotasi
Kata-kata
yang digunakan dalam dunia persajakan tidak seutuhnya bergantung pada makna
denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif (Tarigan, 1984:29).
Djojosuroto (2005:13) berpendapat bahwa bahasa puisi itu cenderung bersifat
konotatif. Sehingga disimpulkan oleh Pradopo (2007:58-61) bahwa sebuah kata
yang digunakan dalam puisi itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah
artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah
kata adalah definisi kamusnya atau makna leksikon, yaitu pengertian yang
menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu. Jadi, satu kata itu
menunjuk satu hal. Maka dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya,
arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang
digunakan. Namun seperti yang telah dikemukakan di atas dalam puisi, sebuah
kata tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja. Bukan hanya berisi arti
yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan oleh
asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Misalnya sajak Kirjomulyo
berikut ini.
TANJUNG SANGIANG
Angin laut jauh sampai ke atas bukit
dinginnya terasa sampai ke hati
aku melihat ujung buih
serupa melihat diri sendiri
datang dan pergi
(Romansa Perjalanan, 2000)
‘Angin laut’
terasa dinginnya sampai menembus ke hati. Angin laut adalah udara yang bergerak
dari darat ke laut dan terjadi pada malam hari. Angin itu menyejukkan bahkan
bisa terasa sangat sejuk hingga membuat orang kedinginan sampai kulit terasa
kering dan kelu. Apa lagi angin yang berhembus pada malam hari, pasti akan
terasa sangat dingin saat udara itu menyentuh kulit. Jika angin yang dingin itu
berhembus sampai menembus ke hati pasti akan terasa sangat dingin melebihi saat
menyentuh kulit saja, mungkin seperti mati rasa.
Bahasa
sastra itu penuh arti ganda (ambiguitas), homonim, kategori-kategori arbitraire
(mana suka) dan terkesan tidak masuk akal apabila dilihat dari kepaduan
kata-kata yang digunakan dalam puisi itu. Selain itu bahasa sastra umumnya dan
puisi khususnya juga menyerap peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan
asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra jauh dari hanya menerangkan saja, tapi juga
cenderung menyembunyikan makna. Bahasa sastra mempunyai segi ekspresifnya,
membawa nada dan sikap si pembicara atau penulis. Jadi, dalam membaca sajak
selain harus dipahami secara leksikonitas, juga harus diperhatikan dan dipahami
makna tambahan atau konotasinya yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi arti
denotatifnya.
3. Bahasa Kiasan
Unsur
kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan
(figurative language). Menurut Aminuddin (1995:227) kajian retorik memilah
figurative language (bahasa figuratif) menjadi dua jenis, yakni (1) figure of
thought: bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan
gagasan, dan (2) rhetorical figure: bahasa figuratif yang terkait dengan cara penataan dan pengurutan
kata-kata dalam konstruksi kalimat. Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah
puisi pada dasarnya bertujuan agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau
daya bayang pembaca untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam
angan-angan sendiri (Surana, 2001:90). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan
sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama
menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau
menyamakan sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik, dan
hidup. Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam,
mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut
mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain
(Pradopo, 2007:62-79). Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif
tersebut adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic
simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori.
a) Perumpamaan (Simile)
Perumpamaan
adalah kiasan yang tidak langsung atau yang disebut dengan perbandingan
(Waluyo, 1987:84). Perumpamaan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling
sederhana dan paling banyak digunakan dalam sajak. Benda yang dikiaskan
kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti laksana,
bagaikan, bak, layaknya, seumpama, serupa, semisal dan sebagainya. Misalnya
pada sajak Kirjomulyo berikut ini.
ROMANSA KECAPI SUNDA
….
Jalanan waktu serupa jalanan alam
melingkar, membelit serupa hati
lincah seperti musim
sebulan membunga, sebulan menghijau
lain saat menguning
….
(Romansa Perjalanan, 2000)
Jalanan
waktu diumpamakan serupa atau sama dengan jalanan alam yang terus melingkar dan
membelit layaknya hati serta lincah seperti musim yang terus berganti sesuai
dengan perubahan iklim udara.
b) Metafora
Metafora
adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan
(Waluyo, 1987:84). Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan atau
diungkapkan dengan benda yang lain, contohnya: tangan kanan (orang
kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bagsa
(pahlawan), dan lain sebagainya). Jadi, metafora ini menyatakan sesuatu sebagai
hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.
Misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Aku” dalam kumpulan puisinya Kerikil
Tajam, Chairil Anwar menyamakan dirinya
dengan binatang jalang yang bebas, tidak memiliki ikatan, dan tak dibatasi oleh
apa pun, dalam hal ini Chairil Anwar dalam berkarya tidak memerhatikan cara
atau aturan lama, seperti berikut.
Aku ini
binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Metafora
terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan
term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007:66-67). Term pokok disebut juga
tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal
yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang
membandingkan. Misalnya ‘Aku’ ini ‘binatang jalang’: ‘Aku’ adalah term pokok,
sedang ‘binatang jalang’ term kedua atau vehicle. Namun seringkali penyair
langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor.
c) Perumpamaan Epos
Perumpamaan
(epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu
dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam
kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut (Pradopo, 2007:69). Terkadang kelanjutan perbandingan ini sangat
panjang. Dapat dilihat sajak Sapardi Djoko Damono berikut.
DONGENG MARSINAH
….
Marsinah itu arloji sejati,
tak telah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
(Ayat-ayat Api, 2000)
Dalam
penggalan sajak di atas penyair mengumpamakan ‘engkau’ ini seperti kolam dan
melanjutkannya gambaran tentang engkau ‘engkau’ ini layaknya kolam yang berada
di tengah-tengah belukar atau semak. Ditambah lagi dengan perbandingan
‘beriak-riak tenang’, ‘membiarkan nyiur sepasang’, bercerminkan diri ke dalam
airmu…’. Sehingga semakin jelas apa yang digambarkan penyair dalam puisinya.
Jadi, guna perumpamaan epos ini pada dasarnya seperti perumpamaan juga, yaitu untuk
memberi gambaran yang jelas, hanya saja perumpamaan epos dimaksudkan untuk
lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar
memberikan persamaannya saja.
d) Allegori
Allegori
ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2007:71). Cerita kiasan
atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini
banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang
banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern. Allegori ini sesungguhnya
metafora yang dilanjutkan. Misalnya dapat dilihat pada sajak Kirjomulyo berikut
ini.
BUAT H. B. JASSIN
Dalam kemenangan keselip kekalahan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah pasir
Dalam kekalahan keselip kemenangan
siapa terlalu memilih
akan datang di tanah batu
Kita lahir dan menerima sekali waktu
alam cinta, tangis dan harap
Kita hadir dan menerima sekali saat
kemenangan dan kekalahannya
Hanya dalam sadar dan yakin
dari keduanya, lahirlah mesra
(Romansa Perjalanan, 2000)
e) Metonimia
Metonimia
adalah bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk menyatakan
sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional (Djojosuroto,
2005:19). Dalam pola-pola kontiguitas tiada relasi kesamaan, melainkan relasi
kebertautan unsur, atau pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengganti
pengertian lain yang berdekatan. Kaitan-kaitan tersebut berdasarkan berbagai
motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal, logika, hubungan waktu atau
ruang. Hal ini diperjelas oleh Hartoko (1992:189) yang menyatakan bahwa
kasus-kasus metonimia ialah akibat digantikan sebab, isi diganti wadah. Satu contoh sajak “Bercerai” karya Chairil
Anwar berikut ini.
JARING-JARING
Kali ini
Nelayan menebar jaring di laut
Menangkap ikan
Kali lain
Tuhan menebar jaring maut
Menangkap insan.
(Biarkan Angin Itu, 1996; Apresiasi
Puisi, 2005)
Kata-kata
‘jaring maut’ dalam penggalan puisi di atas berperan menggantikan sesuatu
kekuasaan Tuhan yang terwujud dalam kasih dan sayang Tuhan terhadap umatNya.
Tuhan ingin mengumpulkan manusia untuk kembali kejalan yang benar. Jadi,
metonimi digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang
dapat mewakili sifat yang digantikan atau digambarkan.
f) Personifikasi
Personifikasi
adalah bahasa kiasan yang menggambarkan keadaan atau peristiwa alam sering
dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia (Waluyo,
1987:85). Menurut Djojosuroto (2005:18) personifikasi adalah jenis bahasa kias
yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat berbuat,
berpikir sebagaimana seperti manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
personifikasi adalah bahasa kias yang melukiskan benda-benda mati seolah-olah
seperti manusia. Di bawah ini beberapa contoh personifikasi.
PULANG MALAM
Dan hari pun telah silam
daunan berhenti menderai
tidur dan tidur
hanya bulan memanjat bukit
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan,
2000)
DI DEPAN PINTU
di depan pintu: bayang-bayang bulan
terdiam di rumput. Cahaya yang
tiba-tiba pasang
mengajaknya pergi
menghitung jarak dengan sunyi
(Sapardi Djoko Damono, Ayat-ayat Api,
2000)
g) Sinekdoki (synecdoche)
Sinekdoki
adalah bahasa kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau
menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987:85). Dalam hal ini
Pradopo (2007:78-79) menggolongkan sinekdoki ini terdiri dari dua macam, yaitu:
(1) pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan, contohnya: hari depan Indonesia
adalah dua ratus juta mulut yang menganga, masa depan Indonesia yang diramaikan
oleh orang-orang yang kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dikiaskan dengan bagian anggota tubuh yakni mulut yang menganga
seperti orang kelaparan atau kehausan, (2) totum pro parte: keseluruhan untuk
sebagian, contohnya: pergi ke dunia luas/ anakku sayang/ pergi ke hidup bebas,
perintah sang ibu kepada anaknya untuk dapat hidup mandiri di luar rumah
dikiaskan dengan kehiduan yang luas yang ada di dunia luar.
Selain
bahasa-bahasa figuratif di atas, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa unsur kepuitisan dengan menggunakan bahasa kiasan juga didukung dengan
adanya sarana retorika atau disebut juga gaya bahasa (rhetorical figure).
Menurut Aminuddin (1995:227) sarana retorika atau gaya bahasa yang digunakan oleh
penyair dalam puisinya adalah bahasa figuratif yang terkait dengan cara
penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Dengan adanya
sarana retorika dalam sebuah puisi ini dapat menimbulkan reaksi tertentu, untuk
menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.
Tiap
pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan
kegemaran masing-masing pengarang. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan
cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau
beberapa macam bentuk yang biasa digunakan.
Sarana
retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan sastra itu
mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu
mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam
sajak-sajaknya. Meskipun begitu, tetapi untuk puisi-puisi modern atau pun puisi
populer juga masih dapat ditemukan berbagai gaya bahasa dalam tiap lariknya.
Beberapa
sarana retorika yang biasa terdapat dalam suatu sajak adalah pleonasme, enumerasi,
pararelisme, retisense, hiperbola, dan paradoks. Berikut penjelasannya:
Pleonasme
(keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti
tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang
pertama (Pradopo, 2007:95). Dengan cara demikian, sifat atau hal yang
dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya: naik
meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, raih
menjulang menggapai bukit, terbang melayang mencapai langit, luka menoreh
menusuk perih, duka menyeruak menghapus suka.
Enumerasi
(penjumlahan) ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau
keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih
jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Pradopo, 2007:96). Dengan demikian
suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas. Seperti sajak Kirjomulyo
berikut ini.
APRIL
Kenangan buat Lorca
Secepat kedatangan bulan April
cintaku kembali dalam diri
membersit,sewarna hijau alam
melingkar, sebulat bulan sabit
Langkahku memberat menciptakan bumi
girang melonjak mengatasi hati
berpecahan di atas kota hati
pada hati dan hati, pada wajah dan
wajah
Tiada terasa dan tiada bermaksud
aku menjerit sejauh angin menderai
Lorca, ‘ku ingat padamu
Hijau alammu sehijau alamku
….
(Romansa Perjalanan, 2000)
Bait kedua
itu merupakan enumerasi (penjumlahan): girang yang dirasakan sampai bertebaran
di kota sampai ke desa, bahkan dapat dirasakan oleh hati-hati yang lain dan
semua orang dapat melihatnya.
Pararelisme
(persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud dan tujuannya serupa.
Slametmuljana menambahkan bahwa sarana retorik yang dalam penataan kata-katanya
menggunakan gaya pararelisme dalam puisi yakni kalimat yang berikut hanya dalam
satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului. (Pradopo, 2007:97).
Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.
SUNYI YANG LEBAT
sunyi yang lebat: ujung-ujung jari
sunyi yang lebat: bola mata dan
gendang telinga
sunyi yang lebat: lidah dan lubang
hidung
sunyi yang dikenal: sebagai hutan
pohon-pohon roboh
margasatwa membusuk di tepi sungai
kering, para
pemburu mencari jejak pencaindra…
(Ayat-ayat Api, 2000)
Pengulangan
bunyi pada larik yang berbunyi ‘sunyi yang lebat’ pada baris ke-1, ke-2, dan
ke-3 ini bertujuan mempertegas suasana sepi yang ingin dirasakan penyair saat
itu. Kesepian itu seperti semak yang tumbuh lebat, menjalar ke ujung-ujung
jari, … bola mata dan gendang telinga, sampai ke …lidah dan ujung hidung.
Sehingga kesendirian yang dialami penyair begitu terasa nyata. Jadi, tujuan
penyair mengulangi kata sunyi pada baris pertama ingin menunjukkan betapa sepi dan
sendirinya ia ketika itu.
Selain gaya
bahasa yang menunjukkan adanya penegasan dengan menggunakan pengulangan atau
pun penjumlahan kata-kata, dalam puisi juga terdapat sarana yang menggunakan
titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tidak terungkapkan. Sarana
retorik semacam ini dikatakan oleh Pradopo (2007:97) adalah retorik retisense.
Pada umumnya penyair romantik banyak menggunakan sarana retorika ini,
lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya. Seperti sajak karya
J.E. Tatengkeng “Kusuka Katakan” (1974:19; Pengkajian Puisi, 2007:97) berikut
ini.
Kupandang bayang melompat-lompat,
Di padang rumput;
Kulihat daun bergerak cepat ……
O, kusuka sebut ……
Apalah warna mainan gerak,
Dan bisikan angina sayup gelak;
Tapi sukma masih ngeram
Dan diam di dalam ……
Oh, jangan kau paksa
Melahirkan rasa!
Biarlah aku menderita
Menanti ketika ……
Hiperbola
adalah kiasan yang dalam mengungkapkan sesuatu maksud atau hal apa pun secara
berlebihan (Waluyo, 1987:85). Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang
dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari
pembaca. Seperti pada sajak Emha Ainun
Najib berikut ini.
PUTIH, PUTIH, PUTIH
Meratap bagai bayi
Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji
keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab!
Samudera putih
Lautan cinta kasih
Gelombang sejarah
Pengembaraan amat panjang
Di padang Mahsyar
Menjelang hari perhitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa suci
Bersujud
Putih, putih, putih
Bersujud
Menyeru belaian tangan kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagad segala jagad
….
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi
Puisi, 2005)
Paradoks
adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi
sebenarnya tidak sungguh-sungguh dipikir dan rasakan (Pradopo, 2007:99).
Seperti: siang yang berselimut malam, ini sebuah kiasan yang artinya di siang
(keceriaan) hari tetapi terasa gelap (tidak menyenangkan) karena tertutup
langit malam (kesedihan), dalam kemenangan keselip kekalahan (sebelum dapat
meraih kemenangan, seseorang pasti pernah mengalami kekalahan).
Bahasa
kiasan menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna
atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Oleh karena itu, bahasa kiasan
seringkali digunakan oleh penyair karena dianggap lebih efektif untuk
menyatakan atau mengungkapkan maksud penyair karena bahasa kias mampu
menghasilkan kesenangan imajinatif dan memberi imaji tambahan dalam puisi.
Sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih enak dinikmati
pembaca. Selain itu, bahasa kias juga berpengaruh pada intensitas pengungkapan
perasaan penyair untuk puisinya dan dapat mengonsentrasikan makna puisi yang
luas dengan bahasa yang singkat.
4. Citraan
Pencitraan
atau pengimajian adalah pengungkapan pengalaman sensoris penyair ke dalam kata
dan ungkapan, sehingga terjelma gambaran yang lebih konkret. Sehingga untuk
memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk
membuat lebih hidup gambaran dan pikiran serta penginderaan dalam sebuah puisi
yang dimaksudkan untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan
gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain.
Menurut Waluyo (1987:78) citraan atau pengimajian dapat dibatasi dengan
pengertian berikut: kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Dengan
demikian, orang harus mengerti arti kata-kata, yang dalam hubungan ini juga
harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan objek-objek yang disebutkan
atau diterangkan, atau secara imajinatif membangun semacam pengalaman di luar
hal-hal yang berhubungan sehingga kata-kata akan secara sungguh-sungguh berarti
kepada pembaca atau pendengarnya. Jadi, dengan adanya citraan dapat lebih
mengingatkan kembali dari pada membuat baru kesan pikiran, sehingga pembaca
terlibat dalam kreasi puitis. Maka pembaca akan mudah menanggapi hal-hal yang
dalam pengalamannya telah tersedia simpanan imaji-imaji yang kaya.
Seperti yang
telah dijelaskan di atas gambaran-gambaran angan atau pengimajian itu ada
bermacam-macam, yaitu dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran,
perabaan, pengecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan
gerakan. Berdasarkan hal itu, Pradopo (2007:81) menggolongkan citraan menjadi
beberapa jenis, antara lain citraan yang ditimbulkan oleh penglihatan (visual
imagery), yang ditimbulkan oleh pendengaran disebut citra pendengaran (auditory
imagery) dan sebagainya. Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu tidak
digunakan secara terpisah-pisah oleh penyair dalam sejaknya, melainkan
digunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya.
Citra
penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal
yang tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya pada penggalan sajak
Sapardi Djoko Damono berikut ini.
TIGA SAJAK RINGKAS TENTANG CAHAYA
Cahaya itu, yang sesat
di antara pencakar langit,
sia-sia mencari
baying-bayangnya.
(Ayat-ayat Api, 2000)
Citraan
pendengaran itu dihasilkan dengan menguraikan bunyi suara. Penyair yang banyak
menggunakannya disebut penyair auditif. Citraan pendengaran seringkali berupa
onomatope. Misalnya pada penggalan sajak Rendra berikut ini.
SURAT CINTA
Kutulis surat cinta ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur main
ank-anak peri dunia yang gaib.
Dan angin mendesah.
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu!
(Empat Kumpulan Sajak, 1961;
Apresiasi Puisi, 2005)
Meskipun
jarang digunakan seperti citra penglihatan dan pendengaran, citra perabaan
(tactile thermal imagery) juga banyak digunakan oleh para penyair. Misalnya
dapat dilihat pada sajak Subagio Sapardi Djoko Damono berikut ini.
KAMAR
ketika kumasuki kamar ini
pasti dikenalinya kembali aku
suara langkahku, nafasku
dan ujung-ujung jari yang dulu
menyentuhnya
(Ayat-ayat Api, 2000)
Citraan yang
begitu jarang dipergunakan ialah citraan penciuman dan pengecapan. Namun
sebagai contoh dapat dilihat sajak berikut ini.
Penciuman:
DI KUBURAN
hanya bebauan daunan busuk
dan serak batuan
sekitar samara
(Chairil Anwar, Mencari Makna, 2005)
Pengecapan:
SENJA DI JALAN PASEH
Seperti yang mendesak dalam diri
begitu manis, berat dan membasah
berwajah sejernih hati perawan
berdaun sejauh laut subuh
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan,
2000)
Ada juga
citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery). Imaji ini
menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan
seperti dapat bergerak. Citraan gerak ini membuat hidup dan gambaran jadi
dinamis. Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.
AKU TENGAH MENANTIMU
aku tengah menantimu, mengejang bunga
randu alas
di pucuk kemarau yang mulai gundul
itu
berapa juni saja menguncup dalam
diriku dan kemudian layu
(Ayat-ayat Api, 2000)
Di bawah ini
penyair mengggunakan bermacam-macam citraan secara bersama-sama. Misalnya pada
sajak berikut.
TROMPET
Terompet dilengkingkan napas nestapa
bagai pekik elang tua
membuat garis di pasir pantai
Bau pandan di sepi malam
duri-durinya menyuruk di daging.
Amboi, aroma daun pandan!
Amboi amis darah dan daging!
Nestapa!
Maha duka!
Didambakannya dahlia dua tangkai,
burung-burung dua pasang,
emas fajar yang pertama.
Nestapa! Maha duka!
Menyepak-nyepak dalam dada
buyar napas isi rasa
lepas lewat kerongkongan tembaga.
Terompet dilengkingkan napas nestapa.
Arwah leluhur mencekik malam dena
(Empat Kumpulan Sajak, 1978;
Pengkajian Puisi, 2007)
Penyair
menggunakan banyak menggunakan imaji auditif seperti: ‘terompet dilengkingkan’
dan pekik elang’. Kata-kata ‘bau pandan’, ‘aroma daun pandan’, dan ‘amis darah
dan daging’ merupakan pengimajian penciuman. Imaji perabaan terdapat pada baris
ke-5 yang berbunyi ‘duri-durinya menyuruk di daging’. Penyair juga mengimajikan
citra penglihatan pada puisinya contohnya ‘emas fajar yang pertama’. Selain itu
ada pula diselipkan citra gerak yakni pada baris-baris terakhir yang berbunyi
‘menyepak-nyepak dalam dada’.
Untuk
memberi suasana khusus dan memberi gambaran suatu tempat secara jelas penyair
menggunakan kesatuan citra-citra yang
masih dalam satu ruang lingkup. Ada kalanya penyair juga menggunakan
imaji-imaji pedesaan, alam, dalam sajak-sajaknya, atau dapat juga dengan
menggunakan imaji yang memberi gambaran tentang citra-citra kekotaan dan
khidupan modern. Misalnya pada sajak Agnes Sri Hartini Arswendo yang berikut
ini. Penyair menggunakan imaji yang menggambarkan citra-citra pedesaan dan
alam.
DARI JENDELA
Dari jendela kaca kereta Senja
kusaksikan
anakku berlari menerobos sawah dan
kali
berjalan di atas batang padi
dengan longdress putih dan sayap
bidadari
hujan turun dan kabut tebal sekali
itu semua tak menahan penglihatanku
lewat kaca
itu semua tak menahan kemauannya
menari
ia tak menoleh ke arahku
tapi aku pasti
ia tampak girang sekali
bermain-main di tempat tanpa batas
Dari jendela kaca kereta Senja
kusaksikan
wajah sendiri
tergeletak di antara sawah, kali, dan
batang padi.
(Batang Padi IV, 1987; Apresiasi
Puisi, 2005)
Puisi di
atas menggambarkan hal-hal yang cenderung ditemui di pedesaan, misalnya sawah,
kali, batang padi, suasana alam berkabut. Sedangkan imaji-imaji kekotaan dan
kehidupan dunia modern dapat dilihat pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut.
IKLAN
Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu
sebenar-benar
hiburan,”
kata lelaki itu. “Siaran berita dan cerita itu
sekedar
selingan.” Ia tahan seharian di depan televise.
istrinya
suka menyediakan kopi dan kadang-kadang
kacang atau
kentang goreng untuk menamaninya
mengunyah
iklan.
Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika
ia
menirukan
lagu iklan supermi – kepalanya bergoyang-
goyang dan
matanya berbinar-binar. Anak lelakinya
sering
memandangnya curiga jika ia tertawa melihat
badut itu
mengiklankan sepatu sandal – kakinya digerak-
gerakkannya
ke kanan-kiri. Dan istrinya suka tidak
paham jika
ia mendadak terbahak-bahak ketika
menyaksikan
iklan tentang kepedulian sosial itu – dua
tangannya
terkepal dan dihentak-hentakkannya.
Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu;
konon yang
terakhir
diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah
“Hidup
Iklan!” sejak itu istrinya gemar duduk di depan
televisi,
bersama-sama anak-anaknya, menebak-nebak iklan
mana
gerangan yang menurut dokter itu telah
menyebabkan
begitu bersemangat sehingga
jantungnya
mendadak berhenti.
(Ayat-ayat
Api, 2000)
Penyair
secara jelas mengimajikan suasana kota, dan kehidupan modern yang ditampilkan
itu tergambar dari kata-kata dalam puisinya, seperti ‘televisi’, ‘iklan’,
‘kentang goreng’, ‘dokter’, dan ‘badut’ yang kata-kata tersebut cenderung
menggambarkan kehidupan modern di kota. Jadi, sajak yang menunjukkan adanya
kesatuan citraan membuat jelas dan memberi suasana khusus. Seperti sajak di
bawah ini, citra-citranya menunjukkan citraan kesedihan. Misalnya pada sajak
Kirjomulyo berikut ini.
DUKA
Di ujung malam
orang hendak melupakan duka
Ke mana duka akan terlempar
datangnya serupa hari
serupa ada
serupa tak ada
(Romansa Perjalanan, 2000)
Citraan yang
terdapat dalam sajak di atas menggambarkan atau menunjukkan perjalanan hidup
anak manusia yang tidak dapat diketahui kapan berakhir, hal ini terlihat jelas
pada korespondensi kata-kata yang dipilih. Namun perlu juga sajak-sajak yang
tidak menunjukkan kesatuan citraan akan menyebabkan makna atau gambaran puisi
menjadi gelap, karena tidak adanya saling hubungan antara kata yang satu dengan
kata yang lain atau antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
5. Irama
Satu hal
yang masih erat hubungannya dengan pembicaraan bunyi adalah irama. Bunyi-bunyi
yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan
suatu gerak yang hidup, seperti gercik air yang mengalir turun tak putus-putus.
Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa adalah
pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa yang
teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme.
Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola
tertentu. Sedangkan ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau
pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah
suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Dalam puisi
timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi,
misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya
pararelisme-pararelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Selain
itu, disebabkan pula oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah,
disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek kata,
atau kelompok-kelompok sintaksis berupa gatra atau kelompok kata.
Pada
puisi-puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada.
Apabila terdapat metrum, maka bersifat individual, artinya metrum-metrum itu
buatan-buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan
patokan tertentu. Sebenarnya yang mempunyai metrum adalah pantun dan syair. Hal
ini disebabkan jumlah suku kata yang cenderung tetap dalam tiap baris baitnya
dan oleh persajakan (tengah dan akhir) yang tetap.
Begitu juga
dalam sajak-sajak Pujangga Baru kelihatan seperti mempunyai metrum karena
bentuknya yang teratur rapi dan jumlah suku kata yang cenderung tetap. Misalnya
sajak karya Amir Hamzah ini.
DOA POYANGKU
Poyangku rata meminta sama
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi , kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga
….
Para penyair
sesungguhnya lebih memerhatikan ritme pada puisinya. Ritme ini didasari oleh
adanya pertentangan bunyi, membuat perulangan, juga untuk membuat irama itu
penyair juga dapat melakukannya dengan menyingkat kata, misalnya hadir menjadi
dir, hendak menjadi nak, atau manusia menjadi nusia. Memilih kata yang cocok
bunyinya: pitunang poyang, habis kikis, atau selaras dengan kata yang
dikombinasikan itu, dan sebagainya. Dengan adanya irama itu, selain puisi
terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan aliran perasaan ataupun
pikiran yang tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan
angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. Hal ini menimbulkan juga adanya
pesona atau daya magis hingga melibatkan para pembaca atau pendengar ke dalam
keadaan extase(bersatu diri dengan objeknya).
Puisi yang
merdu bunyinya dikatakan melodius: berlagu seolah-olah seperti nyanyian yang
mempunyai melodi. Misalnya seperti sajak M. Yamin berikut ini.
Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menopang
Selama berteduh di alam nan lapang
(Indonesia Tanah Darahku, Tonggak I,
1987; Apresiasi Puisi, 2005)
Melodi
adalah panduan susunan deret suara yang teratur dan berirama. Melodi itu timbul
karena pergantian nada kata-katanya, tinggi rendah bunyi yang berturut-turut.
Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada macam bunyi (nada)
yang terdapat pada sajak itu tidak seberapa banyak dan intervalnya (jarak nada)
juga terbatas. Irama, metrum, dan melodi itu bekerja sama dalam sajak hingga
membentuk kesatuan yang bercorak indah.
Pada saat
berdeklamasi, irama puisi ini dapat tercipta dengan tekanan-tekanan, jeda
(waktu yang dipergunakan deklamator untuk perhentian suara). Deklamator atau
tris harus memerhatikan irama puisi itu sebab tiap-tiap puisi membawa iramanya
sendiri-sendiri. Dalam melodisasi puisi, irama puisi itu pun sudah menentukan
lagunya. Selain itu, irama dan ketepatan ekspresi dalam berdeklamasi didapatkan
dengan mempergunakan tekanan-tekanan pada kata. Ada tiga jenis tekanan, yaitu
tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo. Tekanan dinamik ialah tekanan
pada kata yang terpenting, menjadi sari kalimat dan bait sajak. Tekanan nada
ialah tekanan tinggi (rendah). Perasaan girang dan gembira, perasaan marah,
keheranan sering menaikkan suara, sedang perasaan sedih merendahkan suara.
Tekanan tempo ialah lambat cepatnya pengucapan suku kata atau kata dan kalimat.
Pada seni
sastra khususnya sajak, irama membuat rangkaian kata-kata seolah-olah hidup dan
bernyawa (Surana, 2001:25). Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai
irama, dengan irama kita berbicara, berbaris, bernyanyi, menumbuk padi, menari,
dan sebagainya. Irama itu mendatangkan rasa senang, walaupun juga dapat
menimbulkan rasa mencekam. Irama yang tetap dan beraturan timbulnya di dalam
puisi disebut kaki sajak. Tiap-tiap larik terbagi atas dua alun irama.
Perhentian di antara dua alun itu disebut cesura. Cesura itu digambarkan dengan
garis miring (/). Misalnya dapat dilihat pada kutipan puisi “Doa Poyangku” Amir
Hamzah dibawah ini.
Poyangku rata / meminta sama
Semoga sekali / aku diberi
Memetik kecapi / kecapi firdusi
Menampar rebana / rebana swarga
Dua alun
irama ini dalam puisi sangat penting. Sastrawan-sastrawan modern tidak mau lagi
menggunakan puisi berdasarkan dua alun suara ini, sama halnya dengan
puisi-puisi populer juga telah mengabaikannya. Mereka lebih bebas dan
mementingkan keutuhan pengertian, bukan ikatan alun irama.
Dalam seni
sastra Barat, irama itu dinyatakan dengan tanda (-) yang disebut arsis, untuk
suku kata yang mendapat tekanan keras (panjang). Sedangkan kata yang mendapat
tekanan lunak (pendek) dinyatakan dengan tanda (^), yang diberi nama thesis.
Berikut dapat dilihat pada kutipan puisi “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo”
Rendra sebagai berikut.
-
^ - ^
- ^ ^ ^
- ^ -
^ - ^
^ ^
Dengan
kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi
-
^ ^ ^ -
^ -
^ - -
^ ^ -
^ ^ ^
- ^ -
^ - ^
Bulan
berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya pada pucuk-pucuk para
^
- ^ - -
- - -
^ ^ -
^ ^ -
^ ^ - ^
Mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
-
^ - ^
- - -
^ ^ ^ - -
^ - ^
Surai bau
keringat basah jenawipun telanjang.
Kata-kata
yang mendapat penekanan pada tiap baris larik di atas ditandai dengan
pelantunan irama bertekanan lembut (rendah) seperti: kuku-kuku besi dan perut
bumi.
Nama-nama
yang membentuk kaki puisi yaitu: 1) / ^ - / ^ - / (jambe), 2) / ^ ^ - / ^ ^ - / (anapes), 3) /
- ^ / - ^ / (troacheus), dan 3) / - ^ ^ / - ^ ^ / (dactylus). Suku kata dalam
jambe bervariasi, ada yang diberi tekanan dan ada yang tidak. Ada yang
bertekanan keras dan lembut. Pada troacheus, tekanan keras terdapat pada suku
kata pertama. Pada daktylus, tekanan terdapat pada awal baris, dan selanjutnya
diselingi dua suku kata tidak bertekanan. Pada anapest tekanan dimulai pada
suku kata ketiga dan pada awal kata tidak bertekanan (Waluyo, 1987:96).
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa puisi modern termasuk puisi populer
dinyatakan bahwa lebih mementingkan makna dari pada alun irama. Namun pada tiap
larik puisi tetap mempunyai irama dalam setiap pembacaannya. Jadi, dalam puisi
populer perulangan bunyi dan tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah,
disebabkan oleh konsonan dan vokal atau panjang pendek kata, juga disebabkan
adanya kelompok sintaksis dapat menimbulkan irama. Seperti halnya puisi pada
umumnya, puisi populer dengan metrum tertentu cukup sulit ditemukan. Namun jika
ada metrum itu hanya buatan-buatan penyair-penyair secara pribadi yang tentunya
berbeda satu dengan lainnya, tanpa aturan dan patokan tertentu.