Friday, January 6, 2012

Kumpulan Cerpen Indonesia

CERPEN
Cerita pendek (cerpen) adalah satu bentuk karya sastra yang ceritanya hanya menceritakan
satu peristiwa dari seluruh kehidupan pelakunya. Unsur intrinsik cerpen ada beberapa macam,
antara lain tema, plot (alur), penokohan (perwatakan), setting (latar cerita), sudut pandang (titik kisah), gaya bahasa, dan amanat. Akan tetapi, dalam materi ini, kalian hanya akan dilatih untuk menanggapi pembacaan cerpen dari segi penokohan dan setting (latar cerita). Meski demikian, kalian perlu tahu juga tentang apa yang dimaksud tema, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

1. Tema, yaitu pokok pembicaraan yang mendasari cerita.
2. Plot (alur), yaitu rangkaian peristiwa yang sambung-menyambung dalam sebuah cerita  
    berdasarkan logika sebab-akibat.
3. Sudut pandang, yaitu posisi pengarang terhadap kisah yang diceritakannya.
4. Gaya bahasa, yaitu cara pengarang menggunakan bahasa untuk menghasilkan karya sastra.
5. Amanat, yaitu ajaran yang ingin disampaikan pengarang.
6. Penokohan (perwatakan), yaitu pemberian watak pada tokoh cerita.

Berikut ini cara penokohan dalam cerpen.
a. Penokohan secara langsung, yaitu watak tokoh-tokoh cerita itu disampaikan dengan cara
    menyebutkan wataknya (misalnya: tokoh A itu penyabar, baik hati, dan suka menolong) dan  
    dengan cara menyebutkan keadaan fisiknya (misalnya: tokoh A berpenampilan tidak rapi,
    rambut awut-awutan, dan berpakaian seenaknya).
b. Penokohan secara tidak langsung, yaitu watak-watak tokoh dalam cerita itu disampaikan tidak  secara terus terang (pemberian watak tokoh A melalui pendapat dan perbuatan tokoh A tersebut, atau melalui penuturan tokoh lain), sehingga pembaca harus benar-benar mencermati gerak-gerik dan tingkah laku serta sikap dan pendapat seorang tokoh dalam cerita agar dapat menyimpulkan watak tokoh tersebut secara tepat.
7. Setting (latar cerita) yang meliputi:
a. setting tempat, yaitu tempat peristiwa itu terjadi (misal: di ruang tamu, di pasar, di tepi sungai, dan lain-lain), dan
b. setting waktu, yaitu kapan peristiwa itu terjadi (misal: zaman Majapahit, zaman revolusi, zaman sekarang, dan lain-lain), dan
c. setting suasana, yaitu terjadi dalam suasana apa, suasana batin (misal: perasaan bahagia, sedih, marah) atau suasana lahir (misal: sepi, senyap, hiruk-pikuk).

Contoh Cerpen
Ulang Tahun Ibu Kartini
(Oleh: Yuni Prihatiningrum)

Siswa-siswi kelas VII C SMP Duta Bangsa tampak sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun wali kelasnya, Ibu Kartini. Tapi beliau lebih akrab dipanggil Ibu Tini. Tidaklah heran jika semuanya sibuk karena hari ulang tahun Ibu Tini tinggal beberapa hari lagi. Sebagai ketua kelas, Ello lebih sibuk dari teman-temannya. Untung saja ada Tora, Fita, Rudi, dan Anis yang tampak
sangat bersemangat membantu. Teman-teman yang lain juga tampak kompak menyiapkan semuanya. Tentu saja hal itu tanpa sepengetahuan wali kelasnya. "Ayo teman-teman kumpul sebentar!" pinta Ello kepada teman-temannya. Setelah teman-temannya berkumpul, Ello menanyakan segala sesuatunya pada teman-temannya. "Bagaimana soal roti ulang tahunnya
Fit, kamu sudah menemukan tempat untuk memesannya?" tanya Ello kepada Fita. "Santai saja, mamaku bersedia membuatkan demi guru kita tercinta. Aku jamin rasanya pasti lezat. Nanti biar
sebagian anak perempuan membantunya," kata Fita. Tidak lama kemudian bel tanda selesai istirahat berbunyi. Semua siswa segera menyiapkan pelajaran berikutnya.
***
Hari ulang tahun Ibu Tini tinggal sehari lagi. Anak-anak semakin sibuk menyiapkan semuanya. Sepulang sekolah, mereka bersama-sama mendekorasi ruangan. "Itu balonnya masih kurang!" kata Fita. "Nanti aku tambah, ini mau dipasang di mana lagi?" tanya Rudi kepada Fita
"Di ujung sana saja! Nis, kita cari kado sekalian beli bunga yuk!" ajak Fita kepada Anis. "Tapi aku masih bingung, Bu Tini mau dikasih kado apa?" tanya Anis kepada teman-temannya.
"Bagaimana kalau bed cover saja?" usul Arini."Jangan, itu terlalu mahal, kalian tahu
kalau anggaran kita terbatas?" sergah Tora. "Bagaimana kalau tas? Ada toko tas langganan mamaku yang harganya murah," usul Arini lagi. "Itu ide bagus!" sahut teman-temannya
kompak. Setelah semua anak sepakat, Anis, Fita, dan Arini berangkat membeli kado dan bunga. Sementara anak-anak yang lain melanjutkan tugas masing-masing. Sebagian dari mereka menuju ke rumah Fita untuk memantu mama Fita menyiapkan roti ulang tahun dan makanan untuk hidangan. Semuanya tampak sibuk bekerja, sesekali mereka sambil bergurau untuk menghilangkan rasa capai.
***
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Sebelum memberikan pesta kejutan, seluruh siswa mengikuti upacara bendera memperingati lahirnya R.A. Kartini tanggal 21 April. Setelah upacara selesai, semua siswa kelas VII C bergegas masuk ke kelas. Mereka lalu menyiapkan segala sesuatunya, mulai dari mengeluarkan roti tar dari kardusnya dan menyalakan lilinnya, sampai menyiapkan makanan dan minuman. Setelah Ibu Tini masuk ke ruang kelas, semua siswa serentak menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun". Semua siswa terlihat bahagia, tak terkecuali Ibu Tini. "Terima kasih semuanya, Ibu sangat senang. Ibu tidak menyangka kalian bias melakukan semua ini tanpa sepengetahuan Ibu," seru Ibu Tini sambil meneteskan air mata tanda haru bercampur gembira. "Sebelum meniup lilin, Ibu make a wish dulu dong!" celetuk salah seorang anak. "Harapannya, Ibu sehat selalu, murah rezeki, disayang keluarga, dan tidak lupa
pula Ibu berdoa untuk kalian agar menjadi murid-murid yang pandai," ucap Ibu Tini. "Amin...." jawab semua siswa serentak diikuti tepuk tangan."Kemudian Ibu Tini meniup lilin, setelah
itu dia bercerita panjang lebar mengenai namanya. Dia menjelaskan mengapa dia dinamai Kartini oleh kedua orang tuanya. Hal itu dikarenakan tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir R.A. Kartini, pejuang emansipasi wanita dari Jepara. Orang tuanya berharap dengan memberinya nama Kartini, dia bisa mengikuti jejak R.A. Kartini yang bisa mengangkat derajat perempuan
dan berguna bagi bangsa dan negaranya. Tidak lupa pula kepala sekolah beserta guru-guru diundang dalam pesta kecil- kecilan tersebut. Semua yang hadir memberi ucapan selamat kepada Ibu Tini, termasuk siswa-siswanya. Mereka menyalaminya satu per satu. Tidak lupa Ibu Tini
memberi ucapan terima kasih pada siswa-siswanya yang telah memberinya pesta kejutan. Semoga Ibu Tini bisa meneruskan jejak R.A. Kartini dan semoga pula muncul R.A. Kartini,
R.A. Kartini baru.
(Sumber: Yunior, 22 April 2007 dengan pengubahan seperlunya)




















ASMARADANA
Asmarandana
INILAH malam paling keparat yang akan selalu ibu ingat. Malam ketika ibu disergap dan diseret ke dalam gelap. Di antara tumpukan kayu pecahan peti, onggokan kardus apak dan lembab, ibu dilempar hingga terjerembab. Ia mencoba menjerit, tapi seketika mulutnya terbekap. Lima laki-laki itu menyeringai, mengepung, dan mulai menggagahinya. Sekuat tenaga ibu merentak menolak. Ia mencakar. Menendang. Kelima laki-laki itu malah terkekeh dengan liur meleleh. Cahaya yang samar berpendaran dari ujung lorong, membuat wajah lima laki-laki itu timbul tenggelam diaduk-aduk kengerian.
Ibu mengejan, meronta, ketika kedua kakinya direntang, dan ia merasakan sesuatu yang runcing, melebihi mata lembing, menghunjam selangkang. Ibu hanya memerih merintih. Dan seperti ada yang mendidih, ketika ia merasakan cairan sekental dadih, mulai menggenangi rahimnya yang perih. Ia merasakan gatal yang begitu luar biasa di liang selangkangnya, seakan dipenuhi getah nira yang membuat kulitnya seketika terasa panas. Seluruh tubuh serasa abuh melepuh…
Itulah malam paling keparat, sejak ibu merasakan ada benih serigala mendekam dalam rahimnya.
Sejak itu, ibu begitu jijik dengan tubuhnya sendiri. Sepanjang hari ibu selalu mengeram marah menggaruki selangkangnya hingga berdarah-darah. Sepanjang hari ibu melolong dan menjerit mencakari seluruh tubuhnya yang ia rasakan ditumbuhi bulu-bulu hitam gatal menjijikkan. Berkali-kali ibu menenggak bermacam pestisida, agar serigala dalam rahimnya segera binasa. Tetapi perut ibu malah kian tambah membengkak. Dan ibu terus-menerus menjerit dan berteriak mengutuki malam paling keparat itu.
Sampai suatu malam, perut ibu seperti meledak, ketika petir berlecutan, dan ia hanya terkapar menyaksikan jabang bayi itu merangkak keluar dari rahimnya. Bayi itu melolong keras, seakan hendak mengatasi suara yang menggemuruh di puncak malam. Masih pucat, lemas, telinga berdengung dan pandangan berkunang-kunang, ibu memandangi jabang bayi itu, kemudian melenguh, “Benar, aku melahirkan serigala…”
Ibu melihat bayi itu perlahan-lahan merangkak mencari gelap.
AKULAH serigala itu.
Sambil bersandar di dinding, kupandangi bayangan di cermin: makhluk bermata merah, dengan garis dan bentuk mulut menyerupai moncong, dengan lidah berjelijih merah terjulur. Aku bisa mengerti, kenapa seluruh keluarga begitu membenciku. Kakek segera melemparkan bakiak yang dipakainya begitu melihat aku mulai merangkak mendekatinya, “Pergi! Pergi! Menjijikkan!” Dan aku hanya mengeram, mengkerut, memandangi nenek yang duduk mematung di kursi goyang. Begitu melihatku, nenek segera membuang pandang sembari merutuk, “Kenapa aku punya keturunan begini menyedihkan…” Suara itu seakan keluar dari dadanya yang keropos oleh kedukaan.
Pada saat-saat seperti itu, yang kuinginkan adalah belaian ibu. Aku ingin meringkuk di pangkuan ibu. Tapi setiap kali aku dekati, ibu langsung menjeri-jerit. Ibu akan memukul kepalaku setiap kali aku merengek minta susu. “Tak akan pernah kubiarkan susuku dihisap serigala busuk macam kamu,” ibu mengejang, nanar menatapku. “Minumlah air comberan. Pergilah kau ke jalan, karena dari sana kamu berasal!”
Sembab menahan isak, aku segera menyeret kesedihan. Dengan perasaan asing dan sunyi, aku pun segera berkeliaran di jalan. Aku menyukai rimbun belukar, gudang-gudang tua, gerbong kereta, gorong-gorong. Itulah tempat-tempat yang membuatku bisa sedikit merasa nyaman. Hingga mataku terbiasa dengan gelap. Dalam gelap, aku bisa melihat sayap kecoa yang tipis kecoklatan ketika binatang ia bekeredap merayap keluar selokan. Aku bisa melihat kaki-kaki tikus yang penuh kotoran merah kehitaman, bulu-bulunya yang kelabu, juga cericitnya yang menghilang ke dalam lubang. Dalam kegelapam aku menjadi peka terhadap suara-suara: desir angin, dengung serangga, batang-batang rumput yang bergesekan, juga desis ular di belukar.
Saat-saat seperti itulah, aku merasa begitu nyaman. Tidak seperti di rumah yang penuh makian. Aku bisa mendekam bermalam-malam, menikmati hasil buruan, sambil membayangkan wajah ibu yang membenciku. Kegelapan ini seakan-akan selimut yang membuatku selalu merasa hangat, hingga aku bisa membayangkan wajah ibu dengan penuh kerinduan. Aku suka raut ibu yang pucat. Bibirnya yang selalu gemetar. Aku merindukan puting susunya untuk kuhisap dan kujilat. Ibu, tidakkah kamu rindu menyusui anakmu? Kemudian aku mulai menyusun bayangan ibu. Aku membayangkan lengannya yang terkulai. Aku membayangkan pinggangnya yan mengkerut. Aku membayangkan rambutnya yang kelabu, telinganya yang meruncing dan gigi-giginya yang bertaring. Bila aku semakin rindu pada ibu, aku pun segera keluyuran ke tempat pembuangan sampah, memunguti plastik-plastik dan kaleng susu, remukan kardus dan kawat berkarat. Kususun kaleng-kaleng susu itu menjadi patung ibu. Kumahkotai rambutnya dengan plastik dan kertas. Kutandai puting susunya dengan arang. Itulah saat-saat yang membuatku bisa merasa nyaman dalam bayangan ibu. Kupeluk dan kubawa patung ibu dari kaleng-kaleng susu itu ke tempat persembunyianku. Dalam gelap kami jadi akrab. Ibu yang tersenyum kepadaku, memeluk dan mulai menjilati bulu-buluku. Lalu aku pun menggosok-gosokkan tubuhku ke tubuh ibu. Aku mulai menyurukkan moncongku ke ketiak ibu. Dan ibu menggelinjang senang ketika aku mulai membalas menjilatinya. Kami saling gosok dan saling jilat berbagi hangat. Hingga aku bisa merasakan kehadiran ibu yang mendekap semua kerisauanku.
Dengan cara seperti itulah aku mencintai ibu, dan perlahan-lahan mulai memahami ibu. Sungguh ibu, aku mencintaimu, merindukanmu. Tidakkah engkau bangga punya anak yang begitu mencintaimu seperti aku?
KADANG-KADANG, bila aku sembunyi dalam gerbong kereta, aku suka membuka celana kolorku, lalu bergerak merangkak sambil menggoyang-goyangkan pinggul, membayangkan ada ekor yang pelan-pelan tumbuh memanjang di sela pantatku. Ekor itu lembut, dengan bulu-bulu surai kemerahan, menjuntai bergoyang-goyang setiap kali aku melenggang.
Tapi aku selalu kecewa, karena tak juga tumbuh ekor di sela pantatku. Yang tumbuh malah bulu-bulu halus di seputar kelaminku. Membuatku terkikik, setiap kali aku merasa geli ketika memain-mainkan kelaminku. Juga merasa lucu, membayangkan ibu akan terpekik senang menyaksikan bulu-bulu lembut di seputar kelaminku itu. Ya, kubayangkan: ibu pasti akan begitu girang menyaksikan serigala kecilnya kini sudah mulai dewasa.
Karena itulah, sambil bernyanyi-nyanyi riang, aku segera berlari pulang. Sudah begitu lama aku tak pulang, aku berharap ibu mulai merindukanku, seperti selama ini aku merindukan ibu. Rumah sepi. Segera aku berteriak-teriak, “Ibu, ibu…, ini aku pulang!”
Dan kulihat ibu sudah berdiri di muka pintu. Lihatlah, ia melotot, tapi siap menyambutku. Maka segera kepelorotkan celana, dengan bangga kupamerkan kelaminku pada ibu. “Lihatlah ibu…, kelaminku mulai tumbuh bulu!”
“Serigala busuk! Minggat kamu!!” Ibu melemparkan sapu ke arahku. “Cepat minggat, bangsat!!”
Kupandangi ibu. Masih kutunjukan kelaminku pada ibu. Dan ibu segera melempariku dengan batu.
DAN aku kembali sembunyi dalam kegelapan. Kupandangi patung kaleng susuku, dan ia tersenyum dengan wajah ibu yang meneduhkanku. Aku percaya ibu mencintaiku. Ibu hanya tak tahu bagaimana meski bersikap kepadaku. Bagaimana pun aku anakku, meski aku sering mendengar gunjingan tetangga tentang kelahiranku. Tentang malam keparat itu. Aku pasti akan membalaskan dendammu, ibu. Bila aku sudah besar, dan cakar serta taringkku kian kuat dan runcing, pasti, pasti, akan kucabik-cabik mereka yang menyakitimu, ibu!
Aku tumbuh dalam kelam, dalam bayang-bayang yang kian panjang. Aku menghabiskan malam demi malam dalam gudang, bermain-main dengan bayang-bayang yang bergerak-gerak di tembok. Permainan bayang-bayang itu membuatku merasa mempunyai seorang kawan bermain yang mengasyikkan. Setiap malam aku dan bayang-bayang itu selalu bermain-main, meloncat dan berkejaran. Kadang kami saling terkam, saling mengeram. Di antara semua permainan bayang-bayang, aku paling suka permainan seperti ini: aku membuka kolor, berjalan melenggang berkitaran menyaksikan bayang-bayangku yang tampak ramping dengan kelamin menyerupai ekor yang bergoyang-goyang. Aku menyukai permainan itu, karena aku bisa membayangkan kelamin itu perlahan-lahan memanjang, seperti ekor yang tumbuh di bagian depan. Hampir tiap malam aku bermain-main seperti itu. Menarik-narik ujung kelaminku agar cepat memanjang.
Dan, suatu malam, saat aku bermain dengan bayang-bayang, kudengar tawa cekikik dari arah pintu gudang, “Ckckckck…” Lalu kulihat seorang perempuan, pucat tirus, tersenyum memandangku, merasa lucu, seakan-akan ia tengah menonton pertunjukan orang cebol di pasar malam.
Aku beringsut, mengeram meraih kolor.
“Jangan takut, serigala kecil yang manis…” Ia melangkah mendekat, kedua tangannya terentang, mengundang. Sejenak, aku hanya berdiri gamang. Aku sering melihat perempuan ini, berkeliaran di antara gerbong-gerbong kereta. Aku sering melihatnya berkelebat dalam gelap.  “Sini, manis, kuajari bagaimana menjadi serigala jantan.” Tangannya menyentuh pundakku, dan saat itu, aku seperti melihat kelebat bayangan ibu yang muncul bagai hantu. Aku memandanginya. Ia mengusap kepalaku. Dan aku, untuk pertama kali, merasakan usapan ibu. “Mari…” katanya, sambil menarik tubuhku, yang masih menggigil kaget dan tak menyangka akan merasakan hangat belaian seorang ibu. Aku gugup, juga tak bisa menyembunyikan malu. Apalagi ketika ia mulai menyentuh kelaminku. Ia remas kantung kelaminku, begitu lembut. Kemudian aku dibopongnya. Sambil terus terkikik, ia membaringkan aku di atas tumpukan peti. Ia terus meremas dan memain-mainkan kelaminku hingga mengeras panas.
“Kamu serigala kecil paling lucu. Kamu bagus buat jamu… Tenanglah, akan kuhisap kemudaanmu…” Dan ia mulai menjulurkan lidah ke ujung kelaminku. Aku terperangah. Aku mendesah. Dan perempuan itu dengan rakus melumat kelamin kecilku, seperti melahap pisang sekali telan.
Saat otot-ototku meregang, melayang, saat itulah, aku aku membayangkan ibu.
SEJAK itu, aku tak lagi hanya bermain-main dengan bayang-bayang. Karena aku jadi lebih sering bermain-main dengan perempuan itu. Ia menjadi ibu yang selama ini aku rindukan. Ia cekikikan senang setiap kali aku menggosok-gosokkan tubuhku ke tubuhnya. Ia bisa merasakan gairah rinduku pada ibu. Aku senang memandangi matanya yang kelabu. Aku merasa tentram bila ia dekap.
“Kamu benar-benar manja…” katanya, sambil mengusap rambutku.
“Aku haus ibu…”
Ia tak menghardikku, seperti ibu dulu.
“Kamu pingin mimik cucu?!”
Lalu ia meraih kepalaku, menyurukkan kepalaku ke susunya yang kendur, dan membiarkan aku menjilat dan menghisap puting susu itu. Baunya apak dan sengak, tapi aku merasa enak.
Dan bila ia terlelap, tengah malam aku sering terbangun, memandanginya dengan sendu. Ibu. Ibu. Betapa aku mencintaimu! Kemudian kuluapkan rinduku. Aku mulai menjilati tubuhnya, hingga ia menggeliat bangun. Ia tersenyum senang ketika melihat aku tengah menjilati tubuhnya.
“Kamu memang serigala yang pintar…” suaranya terdengar gemetar. Dan aku terus menjilati tubuhnya. Seperti menjilati harum kebahagiaanku. Ketika ia menyadari aku suka menjilati tubuhnya, ia pun selalu mengoleskan mentega ke selangkangnya. “Jilatlah, bila kau suka…”
Bau langur dan gurih itu membuat lidahku tak bosan-bosan menjilati selangkangnya. Sementara ia hanya bersandar, mengelus-elus tengkukku dengan lembut, sambil sesekali menggumamkan tembang di antara erang yang mengambang. Itulah malam-malam paling damai, setelah segalanya usai, dan aku akan tertidur lelap dalam pelukannya.
BAYANG-BAYANG ibu tak lagi menakutkanku. Aku seperti menemukan cara untuk bedamai dengan bayangan ibu, yang masih saja selalu mengusirku. Hanya sesekali aku pulang ke rumah, itu pun mengendap-endap tengah malam. Biasanya karena aku hendak mencuri sisa makanan. Akan aku embat sisa makanan di lemari dan meja, aku bungkus bergegas, kemudian kembali kabur. Aku akan menuju gerbong kereta, di mana perempuan itu menunggu. Setengah melompat aku menjejak bantalan rel kereta, riang bercanda dengan bayang-bayang tubuhku yang memanjang meliuk-liuk mendahului langkahku. Aku berlari, berkejaran dengan bayang-bayangku: siapa paling dulu ketemu ibu! Aku segera ketemu perempuan itu. Aku segera ketemu ibu. Kubawakan makanan untukmu, ibu.
Tapi aku terpana sebelum meloncat ke dalam gerbong. Cahaya bulan yang menerobos ke dalam gerbong membuat aku bisa melihat seorang laki-laki yang tengah menindih perempuan itu. Aku berdiri, gamang, gemetar. Kudengar lengking kereta, menggemuruh lewat, tetapi gemuruh dalam dadaku jauh lebih kuat. Desah nafas perempuan itu, juga lenguhnya yang tertahan, lebih bergema merasuki telinga. Lelaki itu terus menindih.
Aku teringat cerita malam paling keparat yang membuat ibu membenciku. Dan aku langsung meraung, meloncat dan menyerang dengan kalap. Laki-laki itu kaget. Ia kebingungan ketika aku berkali-kali menggigit dan mencakar tubuhnya.
“Bedebah!” Ditangkapnya tanganku, dipiting, kemudian ia lemparkan tubuhku ke dinding gerbong.
Sementara perempuan itu terbelalak menatapku, mendengus kesal.
“Ibu!” pekikku, mengeram menahan sakit, berharap ia segera melindungiku.
Tapi ia malah meludah, memakai kembali gaunnya yang melorot, lantas memaki, “Brengsek!” Kemudian bergegas pergi.
“Ibu” teriakku, hendak mengejar. Tapi laki-laki itu sudah mencengkal lenganku. Aku hendak menggigit, tapi kepalaku keburu dihantamnya hingga berdengung. Laki-laki itu nanar menatapku. Kucium keringatnya yang kecut, bau tuak menghembus dari hidungnya. “Ah, serigala kecil…” ia menyeringai.
Telingaku tegak berdiri, merasa sesuatu bakal terjadi.
“Kamu telah menggangu kesenanganku, serigala kecil… Hehehe…, tak apalah…karena aku pun suka serigala kecil macam kamu…” Dan dengan tangkas ia meringkusku. Aku meronta, mencakar, menggigit – tapi ia begitu kuat. Tubuhku ia lipat. Ia renggut celana kolorku. Aku menjerit, melolong panjang. Aku merasakan sesuatu seperti kaktus, dilesakkan ke dalam anus…
Aku ingat ibu. Aku akan mengingat malam ini, seperti ibu mengingat malam paling keparat dalam hidupnya.
BERHARI-HARI bokongku merasa nyeri.  Aku selalu bergidik, membayangkan kaktus tumbuh dalam anusku. Membuatku selalu merasa gatal. Aku jadi mengerti, kenapa ibu – dulu – begitu jijik dan selalu menggaruki liang selangkangnya. Setiap kali aku mengingat malam keparat itu, aku selalu tersiksa dengan bayangan ibu, yang kadang menumbuhkan kebencian pada ibu. Kenapa ibu mengusirku ke jalan? Bukankah ibu merasakan sendiri, bagaimana jalanan menyimpan banyak kengerian? Di jalanan iblis-iblis gentayangan. Muncul dari balik lorong-lorong kelam, menyergap seseorang, menyeretnya ke rimbun kegelapan. Bagaimana pun aku anak ibu. Dan tak semestinya ibu membiarkan aku begitu saja berkeliaran di jalanan.
Ibu, ibu… Tiadakah kau tahu, betapa aku merindukanmu?
Sesekali aku pulang rumah, mendapati suasana yang kian murung. Kakek sudah lama mati, tersiksa rasa malu. Sedang nenek telah lumpuh, tergolek di ranjang, menunggu maut mencekik lehernya. Ibu tetap saja membuang pandang, setiap kali melihatku pulang. Ibu tak lagi memukuliki dengan sapu atau melempariku dengan batu, hanya karena tubuhku kini lebih kuat dan sanggup melahapnya sekali terkam. Tak pernah ibu bicara denganku.
“Apakah ibu jijik pada anak ibu sendiri?” kutentang mata ibu.
Ibu membisu. Hanya membisu. Terus membisu.
Karena itulah, aku selalu kembali ke jalan, menyuruk-nyuruk malam. Aku mencari ketentraman, dengan dahaga kanak-kanak yang merindukan puting susu ibu. Kusihap puluhan susu perempuan yang kutemui di jalan-jalan. Merajuk seperti kanak-kanak yang ingin damai dalam pelukan ibu. Mendengus menghempaskan kerinduanku pada bau ibu. Gairah dan kerisauanku pada ibu, membuatku selalu ingin melolong-lolong memanggili ibu. Aku seperti makhluk terkutuk yang selalu galau dengan kebencian dan kerinduan yang sulit terdamaikan. Kuhisap susu setiap perempuan yang aku temui, agar sejenak reda gemuruh kerisauanku. Aku pemabuk yang sempoyongan mencari jalan pulang.
“Masih sore, Bang… Kok udah mau pulang?” beberapa perempuan terkikik, memandangiku yang sempoyongan.
Aku menyeringai, menjulurkan lidahku yang kasar berbintil-bintil merah. Dan perempuan itu tertawa senang.
“Lihat lidahnya!”
“Begitu merah.”
“Begitu bergairah…”
“Pastilah dia jago jilmek!”
“Jilmek? Apaan tuh jilmek?”
“Jilat memek, tau! Bego amat sih lu!”
“Ha ha ha…”
Aku pun tertawa. Menyeringai menatap mereka.
“Ayo dong, Bang, sini mampir…”
Tapi aku lagi bokek. Aku juga begitu capai. Aku ingin pulang. Mengendap memasuki rumah yang menyebalkan. Bahkan aku harus bersikap seperti maling untuk masuk ke rumahku sendiri.
Di ruang tengah, kulihat ibu tertidur di sofa, mulutnya separo terbuka. Wajahnya begitu lembut tanpa kebencian. Baru kali ini aku melihat wajah ibu begitu lembut. Temaram cahaya lampu, membuat ibu tampak begitu pulas dan penuh kedamaian. Andai wajah ibu selalu begitu setiap kali melihatku. Ada  rindu yang perlahan tumbuh dalam darahku, seperti hawa panas yang menguap dari tungku. Betapa aku selama ini merindukan bisa melihat wajah ibu yang begini tentram. Tak menghadik penuh kebencian kepadaku. Aku menatap lekat, hangat. Mungkin inilah saat terbaik aku bisa berada dekat ibu.
Terus kepandangi ibu. Dan kuingat wajah perempuan yang membiarkan aku menghisap dan menjilat susunya. Bayangan itu kian membuncahkan rinduku pada ibu. Bagaimana pun aku anakmu, ibu, yang berhak menghisap manis ranum puting susumu. Hidungku terasa panas, nafas tersengal, ketika kian lama aku pandangi ibu yang lelap: ibu telentang dengan kaki agak mengangkang. Bayangan betisnya yang pucat kecoklatan tampak padat, mengairahkan. Bertahun-tahun aku terbakar rindu hanya dengan membayangkan ibu.
Nanar kudekati ibu, bersijengkat mengendap-endap, seperti serigala yang siap menyergap….
Jan.2012.






KELEPAK SAYAP JIBRIL
AKU tengah duduk di kafe di sebuah mall membunuh kejenuhan dengan secangkir cappuccino ketika sayup-sayup berdesir bunyi kelepak, lembut di telinga. Aku mendongak, melihat bayangan langit pada kubah kaca yang dipenuhi pohon-pohon kurma dan unta dengan kafilah di punggungnya, bergelantungan di besi-besi konstruksi yang dicat warna-warni. Kulihat unta-unta itu bergoyangan, bagai ada tangan yang menyentuhnya.
http://agusnoorfiles.files.wordpress.com/2011/08/sayap-jibril-2.jpg?w=352&h=263
Kelepak itu! Jelas mendesir di sela keriuhan celoteh gadis-gadis, alunan lagu yang bersliweran dari tiap counter, jerit anak-anak minta mainan dan kemerosak HT satpam. Kelepak itu, kelepak itu, mengingatkanku pada Kakek, ketika suatu malam tergesa-gesa membangunkanku.
Umurku 7 tahun saat itu. Ketika tengah malam Kakek mengguncang tidurku. “Bangun, buyung!” Masih mengantuk, tapi Kakek menyeretku ke pekarangan, menepuk-nepuk pundakku. “Bukankah kamu pingin mendengar kelepak sayap Jibril?!” Masih mengantuk, aku duduk di tumpukan kayu menyaksikan Kakek berjalan mengitari pekarangan. “Kamu mendengarnya, buyung?” Masih mengantuk, kudengar Kakek berkata, tetapi aku begitu kaget ketika menyadari Kakek sudah tak ada. Suara itu, jelas suara Kakek.
Di mana Kakek? Aku begitu ketakutan, merinding dicekam kesunyian dan kegelapan. Desir angin di dedaunan cukup membuatku tergeriap. “Dengarlah, buyung…” bisik Kakek di belakangku. Aku menoleh. Tak ada Kakek. Tapi suara itu? Seperti dengung angin dalam botol. Aku kemudian hanya mendengar gema kelepak sayap kelelawar, membuat malam seperti bergetaran dan cahaya bulan berpendaran. Ranting dan dedaunan jadi berkilatan, batu-batu seperti menyimpan cahaya, menyala redup. Seperti ada yang melintas di udara, dan bayangannya berkelebat di tanah, membuatku seketika mendongak. Kulihat langit penuh bintang, seakan penuh kabut dan beku, membuatku berfikir betapa Kakek tengah sembunyi di sana, mengarungi gugusan cahaya. Kuingat cerita Kakek perihal malaikat yang berdzikir menyalakan bintang-bintang, melayang-layang di keluasan langit membawa ayat-ayat Tuhan.
Tapi, tak kulihat malaikat melayang-layang di antara bintang-bintang. Yang kulihat justru Kakek yang tengah berjalan mendaki undak-undakan cahaya, dengan jubahnya yang berlambaian, memasuki langit yang perlahan membuka.
“Kakeeeekkkk!!!” Aku berteriak memanggil sekuat tenaga. “Kaaakkkeeekk!!!”
“Ada apa, buyung?” Kakek telah berdiri di sampingku, begitu saja, serta merta. Belum lagi habis keherananku, Kakek menggandengku masuk.
“Belum mengerti jugakan kamu, buyung, kalau semua suara di dunia ini berasal dari kepak sayap Jibril?” Kakek mengusap keningku. “Kamu mesti belajar memusatkan pendengaranmu. Kamu mesti memilah mana yang sesungguh-sungguhnya suara, dan mana yang cuma gema. Desir angin itu, buyung, juga cericit tikus tanah, bunyi jangkrik dan kemerosak ranting jatuh, hanyalah gema kelepak sayap Jibril. Sekarang tidurlah. Besok malam Kakek akan membangunkanmu lagi. Tidurlah.”
Namun, sampai dini hari, aku tak bisa tidur. Aku selalu digoda untuk bisa mendengar suara kelapak itu. Sampai ketika sayup azan subuh merambat di kejauhan, aku seperti mendengar kelepak sayap di balik jendela, mendesir lembut di telinga.
Desir kelepak sayap itulah, yang kini aku dengar lagi, membuatku begitu terkesiap. Alangkah menyenangkan, kalau di tengah keramaian mall ini, Jibril tiba-tiba muncul. Tetapi, kalau memang Jibril benar-benar muncul di mall ini, apakah orang-orang akan peduli? Jangan-jangan malah akan diusir satpam! Jibril, dengan sayap lembut berjuntaian, boleh jadi hanya dianggap seorang yang tengah mencari sensasi dan perhatian. Aku pernah melihat seorang senimang yang mengadakan performance art dengan memakai sayap bulu-bulu di punggungnya, berjalan-jalan keliling mall, membagi selebaran berisi ajakan untuk peduli pada persoalan kemanusiaan ketimbang sibuk berbelanja – tetapi orang-orang hanya memandang dan menanggapi selintasan. Orang-orang lebih menaruh perhatian pda leaflet yang dibagikan para sales girl berpakaian mini dan ketat yang menawarkan produk minyak wangi baru. Yeah, sudah pasti, seperti aku, orang-orang itu datang ke pusat perbelanjaan pastilah tak mau memusingkan diri dengan segalam macam tetek bengek persoalan kemanusiaan. Orang-orang  ke sini untuk membunuh kejenuhan dan membeli apa saja yang memang menggoda untuk di beli meski tak terlalu butuh dan penting benar. Di tengah kesumpekan hdup, mall jadi oase impian yang bisa membuat kita meyakin-yakinkan diri betapa hidup ini memang juga menyenangkan, dengan membeli pakaian, sekadar jajan dan jalan-jalan atau pacaran. Inilah tempat kita membunuh kesepian. Bukankah kesepian merupakan komditas paling mengunungkan? Orang-orang kesepian adalah pasar yang menguntungkan. Orang akan membeli apa pun asal bisa mengusir sepi, asal bisa memperoleh sedikit arti, semacam usaha menghibur diri: bahwa ia masih manusia yang bisa merasa bahagia. Merasa ada.
Kembali kelepak sayap itu mendesir dan bergema di telinga, dan astagfirullah, kulihat Jibril duduk di punggung unta gabus yang digantungkan pada konstruksi yang kini jadi terlihat seperti labirin di keluasan langit biru. Ya, Allah, benarkah itu JIbril? Sayapnya yang kukuh menjuntai lembut. Dan itu, ya Allah, bukankah itu Kakek? Berdiri bersandar pada pohon kurma gabus yang tergantung bergoyangan. Sungguh menakjubkan. Bayangan senjan menangkup kubah kaca, membuat sosok Kakek terlihat samar-samar. Lalu, kusadari, betapa kubah kaca itu perlahan-lahan membuka, latas menjelma padang pasir dengan bayangan senja kuning kemerah-kemaran. Kulihat una-unta dari gabus itu bergerak hidup, berjalan beriringan di bawah cahaya senja, menembus angina berdebu, melintas di atasku yang takjub tertimbun kebosanan. Kulihat Jibril yang masih saja duduk di pinggung unta, diiringi Kakek dan sekawanan unta, berjalan mengapung di langit-langil mall, kemudian menembus kubah kaca, lenyap…
Saat itu, segera aku menyadari, orang-orang rebut karena unta-unta gabus yang bergelantungan raib seketika.
“Barusan masih menggantung!”
“Lihat sendiri, tak ada lagi, kan?”
“Ada yang ngambil kali.”
“Nggak mungkin. Dari tadi juga nggak ada sispa-siapa di atas sana.”
“Tapi lihat sendiri kan, benar-benar lenyap begitu saja!”
Aku ikut mendongak. Unta-unta gabus yang bergelantungan di langit-langit mall itu memang sudah tak ada.
KUCERITAKAN kejadian itu pada Ayah. “Bukankah itu luar biasa?” kataku. Ayah hanya menggeremeng pendek. Sementara aku terus bercerita dengan ketakjuban meluap-luap, tanpa menyadari kalau Ayah tak begitu peduli.
“Kulihat Kakek membumbung, lenyap di telan langit yang keemasan. Sementara kelepak sayap Jibril terus berderisan. Saat itulah Kakek…”
“Sudahlah!” potong Ayah. Tajam menatapku. “Kau tahu, si tua bangka itu sudah musnah jadi tanah.” Ayah mendengus. “Sekarang pergilah!”
Aku mundur,, menyadari betapa Ayah tak pernah bisa berdamai dengan Kakek. Aku ingat, ketika dulu semasa kanak-kanak, aku bercerita soal soal Kakek yang mengajakku keluar malam-malam untuk mendengarkan suara sayap Jibril, Ayah langsung berteriak gusar, “Jangan dengarkan si tua bangka itu. Masuk kamar dan belajar!”
Beberapa hari berselang, kudengar Ayah memaki-maki Kakek. Ayah tak suka mengajariku hal-hal yang menurutnya hanya klenik, takhayul. Sejak itu, Ayah berusaha menjauhkan aku dari Kakek.Setiap aku berusaha mendekati Kakek yang selalu duduk-duduk di pekarangan belakang, Ayah langsung memanggil dan menyuruhku sepaya masuk kamar. Ayah mengunci pintu kamarku, supaya malam-malam Kakek tak masuk dan membangunkanku. Tetapi, selalu, malam-malam, Kakek telah berada di kamarku. Selalu kudapati Kakek sudah duduk di tepian ranjang, mengusap-usap kepalaku dengan lembut, hingga kurasakan hawa hangat merambat di ubun-ubunku, hawa hangat yang membuatku mengantuk dan merasa mengapung. Saat mataku dirambati kantuk, kulihat wajah Kakek dipenuhi cahaya. Seperti hendak menghantarku ke alam mimpi yang penuh keajaiban, dengan suara pelan Kakek akan bercerita tentang kisah-kisah mistis yang selalu menakjubkanku.
Tentu saja, aku tak menceritakan semua itu pada Ayah.
AKU masih terbayang-bayang peristiwa kemunculan Kakek bersama Jibril di mall itu, yang membuatku jadi kembali teringat hari-hari sesudah Kakek meninggal. Malam-malam, setelah Kakek dikuburkan, aku masih mendengar langkah Kakek yang selalu berjalan setengah menyeret kakinya, hingga menimbulkan suara srek srek srek saat menyampar dedaunan kering di pekarangan. Kudengar juga lamt-lamat percakapan kakek dengan entah siapa di luar. Tak ada keberanianku membuka jendela untuk mengetahui dengan siapa Kakek bicara. Aku pun kerap mimpi, Kakek mendaki undakan cahaya, neik ke langit yang dipenuhi cahaya cerlang keperakan.
Tetapi kenangan tentang Kakek perlahan-lahan kian menjauh, ketika Ayah kian menyibukkanku dengan bermacam kegiatan sekolah. Apalagi Ayah memang sangat tak suka apabila kami –aku, adik dan kakakku – bertanya atau bercakap-cakap membicarakan Kakek. Kemudian kusadari, betapa cara Ayah mendirik kami, adalah sebuah cara membunuh Kakek dari ingatan kami. Ayah memang tak terlalu menghargai Kakek, itu aku tahu setelah duduk di SMA.
Rupanya, bagi Ayah, Kakek – yang adalah ayah kandung Ayah – tak lebih seorang pemalas, yang sepanjang hari hanya melamun dan bertingkah aneh. Kakek sering berhari-hari pergi, entah ke mana, yang kalau pulang tak pernah membawa apa-apa selain benda-benda yang menurut Ayah tak berguna dan tak berharga. Di mata Ayah, Kakek hanya menyengsarakan keluarga. Yang tak jelas apa pekerjaannya. Yang membuat Nenek mesti banting-tulang meladeni kebutuhan Kakek dan keenam anaknya, yakni Ayah dan adik-adiknya. Sebagai anak tertua, Ayah menghabiskan masa kanak-kanak sampai remajanya dengan membantu Nenek – ibu kandung Ayah – berjualan kue carabikang dan serabi, sementara Nenek jual kupal lengko di dekat pasar. Bagi Ayah, Kakek hanyalah seorang ayah yang cuma pintar omong soal kepasrahan menjalani hidup, sementara setiap hari mereka harus maka, membayang hutang beras, dan tetek-bengek segala macam kebutuhan hidup yang membuat mereka dari hari ke hari kian terbelit kebutuhan konkrit. Ketika Nenek meninggal karena penyakit paru-paru, Ayah menganggap itu akibat ketidakbecusan Kakek ang tak pernah mampu membawa Nenek berobat dan opname di rumah sakit di kabupaten. Sejak itu Ayah nyaris tak bernah bercakap-cakap dengan Kakek. Dan seperti hendak menghindarkan diri dari Kakek, Ayah semakin ulet bekerja, sekaligus kian tak menghomati Kakek.
“Laki-laki yang tak bisa menghasilkan uang, lebih baik mati sejak dini!” Itu ditanamkan Ayah pada semua anaknya.
Aku tak menganggap sikap Ayah salah. Karena bagaimana pun Ayah telah mengentaskan anak-anaknya menjadi orang yang cukup terhormat. Kalau bukan karena keuletan Ayah mendidik kami dengan segala macam kepraktisan hidup yang diyakininya, barangkali aku dan saudara-saudaraku masih jualan kupat lengko. Kara cara mendidik Ayahlah, boleh dibilang kami jadi sangat menghargai pentingnya uang. Yang penting kaya dulu, baru yang lainnya, begitu tegas Ayah. Apa boleh buat, orang kaya kini memang lebih dihormati.
Tetapi, sekeras apa pun Ayah mencoba menjauhkanku dari ingatan tentang Kakek, aku tak pernah sepenuhnya menyalahkan Kakek. Mungkin ini karena kedekatanku dengan kakek. Dibanding anak Ayah lainnya, aku memang paling dekat dengan Kakek. Kenangan pada kakek memang telah menjadi masal silam yang timbul tenggelam dalam keriuhan kerja. Tetapi seringkali kenangan itu muncul begitu saja bagai gema genta yang datang dari ingatan dan kerinduanku pada Kakek yang tak dengan gampang aku lupakan.
Dan kemunculan kakek di mall itu seolah menegaskanku tentang kenangan yang selama ini diam-diam ingin aku hirup kembali, seakan-akan aku mencium kembali bau harum kopri tubruk Kakek ketika dia duduk-duduk di teras bersandar di kursi bambu. Disesah kejenuhan seperti ini, aku tiba-tiba begitu merindukan saat-saat bersama kakek bersijengkat keluar kamar, berdebar karena takut Ayah akan terbangun. Kini Kakek seperti ingin menemuiku. Apakah itu bukan bayangan kesepianku? Ataukah Kakek memang kembali mengingatkanku mengenai hal-hal yang tak cukup diatasi dengan hidup yang berkelimpahan? Selama ini Ayah selalu mengajariku untuk sungguh-sungguh menyintai uang, uang, uang dan uang. “Itulah kebahagiaan, anakku,” begitu selalu kata ayah, sambil merentangkan kedua tangannya yang menghamparkan puluhan perusahaan. Kuakui, Ayah memang pekerja keras. Ayah adalah kepraktisan. Ialah ketangkasan dan keuletan menumpuk uang. Sementara Kakek, barangkali, kedalaman sunyi lubuk hatiku. Seperti ada gema panjang dalam lubuk kesunyian itu, yang entah kenapa kini terasa mengusap hidupku yang nyaris datar dan monoton. Mungkin aku berlebihan. Mengada-ada. Tetapi kelepak sayap yang kudengar itu…
Sepanjang perjalanan pulang, aku seperti mengalir dengan semua kenangan.
KOK masih pakai mobil ini? Katanya hari ini sudah ganti!” Istriku cemberut menyambut kedatanganku. Aku mendesah, mencoba tak peduli.
“Mas, gimana, sih!”
Aku langsung masuk kamar. Capek. Pingin tidur.
“Saya kan sudah cerita sama teman-teman arisan, kalau hari ini saya sudah pakai mobil baru. Denger enggak, heh? Gengsi dong…Mas nggak usah pura-pura tidur gitu, deh! Begitu ya caramu merhatiin istri. Kok aneh, pasti habis ketemu pacar lama, ya! Pantesan tadi aku ele[on ke kantor nggak ada. Kalau sudah bosen bilang saja. Cerai juga enggak papa kok. Yang penting mobil barunya, beliin dulu!”
Hidup macam apakah ini?
Kuambil sebotol brandy, jengah menghindari ocehan istriku. Aku dudul di balkok luar, memandang dengan perasaan kosong sepotong bulan yang terapung bagai perahu. Kukira perempuan itu sudah mendengkur. Hmm, apakah suara dengkur juga berasal dari sayap jibril. Kuteguk brandy, seperti kuteguk kesepianku. Bayangan keemasan muncul dari bali bulan, mendekat bergemerincingan. Aku jadi teringat ketika dulu aku suka duduk tercenung di jendela memikirkan Kakek, memandang keluasan malam yang bagai lautan hitam rahasia, sambil bertanya-tanya untuk apakah sebenarnya kita hidup bila selalu saja merasa sepi dan hampa? Kini aku memandangi langit, dan kian merasa sepi dan hampa, terpekur memandangi langit yang perlahan dipenuhi cahaya keemasan yang bergemerincingan. Di antara bunyi gemerincing itu, aku dengar kelepak lembut, seperti ada yang tengah menepuk-nepukkan telapak tangan begitu pelan yang timbul tenggelam dalam desau angina, gaib di telinga.  Dari kamar yang gelap, kudengar juga dengkur istriku. Apakah ia merasa bahagia dengan mendengkur seperti itu? Kuteguk brandy, kuteguk lagi, membunuh sunyi sepi hatiku.
Di hamparan cahaya kekukingan yang memenuhi langit, kulihat Kakek berdiri di puncak gedung besama Jibril, seperti melambai memanggil-manggilku. Aku hanya mendengar bunyi kelepak sayap itu, yang membuatku – entah kenapa – begitu saja membayangkan kematian. Dari cahaya keemasan yang bergemerincingan yang muncul dari balik bulan, aku seperti mencium bau maut yang ngelangut.
Ah, alangkah sunyi malam ini. Dan kelepak sayap itu terus mendesir, terus mendesir…***










- BAYI BERSAYAP JELITA
Selamat beribadah puasa, bagi yang menjalankan. Cerpen ini, mungkin cocok dengan suasana Ramadan. Muncul di Jawa Pos, Minggu 15 Agustus 2010 ini. Saya menuliskannya dengan perasaan khidmat pada sastrawan Danarto. Teringat, saat saya menjenguknya, takala ia jatuh sakit kena serangan jantung. Saat melihatnya terbaring di rumah sakit, saya seperti menjenguk ke kedalaman kolam cerita yang bening dan hening. Dari sanalah inspirasi datang…
http://agusnoorfiles.files.wordpress.com/2010/08/bayi-bersayap1.jpg?w=324&h=263
BAYI BERSAYAP JELITA
Cerpen Agus Noor
KAKEK bisa membelah diri. Bisa berada di banyak tempat sekaligus…
Aku melihat Kakek tengah berdiri memandang keluar jendela, ketika aku masuk. Kamar gelap – mungkin Kakek sengaja mematikan lampu – aku merasa ia tak ingin diganggu. Pelan pintu aku tutup kembali. “Masuklah,” suara Kakek lemah. Ia tergolek, dengan selang oksigen dan infus yang bagai mencencangnya ke ranjang. Demi Tuhan! Aku tadi melihat Kakek berdiri dekat jendela itu. Benarkah Kekek bisa berpindah dalam sekejap?
Kurasakan, Kakek mengedipkan mata: sini, tak usah heran begitu. Padahal kulihat ia terbaring memejamkan mata begitu tenang.
Dua hari sebelum puasa, ibu menelpon. Kakek jatuh di kamar mandi, serangan jantung. Mas Jo memintaku segera saja ke Jakarta. Sebelum terlambat –  ia rupanya tahu keenggananku menjenguk Kakek. “Biar aku urus Nina,” katanya. Bungsuku itu memang baru kena demam berdarah.
Aku tak terlalu dekat dengan Kaket. Bahkan tak menyukainya. Semasa kecil, kakak-kakak dan sepupuku suka sekali mendengarkan cerita Kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap Kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa biji-biji kebaikan, ular berkepala lima, makhluk-makhluk sebelum Nabi Adam diciptakan, angsa yang menyelam ke dasar samudera atau Nabi Sulaiman yang mendengarkan percakapan cicak dan buaya.
Itu bohong, kataku, setiap Kakek bertanya kenapa aku tak suka ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika. Bagiku Kakek tak lebih tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit ortang malas, kata Nenek. Saya memang tak suka setiap melihat Kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para kakak dan sepupuku – seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda – sementara Nenek di dapur sibuk membuat kue. Aku lebih suka menemani Nenek di dapur, mencicipi remah kue yang dibikinnya, dan selalu merasa begitu bangga ketika Nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.
Tapi kakak-kakak dan sepupuku bilang, Kakek punya kue yang jauh lebih lezat dari kue bikinan Nenek. Kue itu kue yang dihidangkan ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman. Seperti apem, tetapi bagai terbuat dari cokelat. Kue itu tak akan habis bila dimakan. Aku benci mendengar cerita itu. Benar, khayalan memang penyakit menular. Kupikir mereka sudah tertular khayalan Kakek.
Aku ingat setelah kejadian itu, tengah malam, antara tidur dan jaga, entah mimpi entah nyata, aku melihat kakek duduk di sisi ranjangku, sembari makan kue pelan-pelan. “Mau?” ia menawariku. Seolah ada gerak yang mendorong tanganku untuk mengambil kue itu, memakannya. Rasa kue itu jauh lebih enak dari kue buatan Nenek.
***
KAKEK pingin ketemu kamu, kata Ibu di telepon. Yakin, pasti Kak Sofyan yang menyuruh. Sejak setahun tahun lalu, Kakek tinggal bersama kakak keduaku itu, dan ia tahu: aku pasti mau mendengarkan bila yang menelpon Ibu.
“Kenapa kamu tak suka Kakek?” dulu, ibu bertanya. Aku terus pura-pura membaca.
Suaranya lembut, membuatmu merasa tentram setiap mendengarkannya bercerita. Matanya keteduhan yang ingin kau jumpai. Nyaris tak pernah marah. Dan – ini yang menurut kakak-kakak dan sepupuku paling sukai dari Kakek – tak suka cerewet memberi nasehat. Rasanya tak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Mungkin karna iri. Atau tak mau berbagi. Kakek membagi perhatian pada semua cucunya. Aku selalu ingat pada kejadian saat suatu kali Kakek membawa martabak. Kakek membagi rata buat semua cucuknya. Semua gembira.
Tapi aku segera pergi. Aku ingin Kakek seperti Nenek! Bila punya kue: aku selalu dapat bagian lebih banyak. Aku senang bila kakak dan sepupu menatap iri bagian kue yang lebih besar milikku. Itulah saat-saat paling membahagian buatku. Nenek mengerti kebahagiaanku itu. Kakek tidak.
Itulah sebabnya aku tak pernah terlalu suka Kakek. Tak pernah bisa merasa dekat.
Tapi Kakek ingin sekali ketemu kamu, kata Ibu saat menelpon. Dan Ibu bilang: dua hari di rumah sakit, Kakek bersikeras pulang. Rumah sakit hanya membuat kita benar-benar merasa sakit, keluh kakek. Para suster mengatakan kalau Kakek pasien paling tak bisa diatur. Tak mau minum obat, dan tak mau disuruh diam. Dia suka sekali mendongeng dan cerita, kata seorang suster. Pernah, malam-malam, kakek memanggil suter jaga, hanya karena ia mau bercerita kalau baru saja ada lima laki-laki menjenguknya. “Mereka tinggi besar dan bersayap. Mereka memijiti jempol saya, dan bilang saya tak apa-apa. Suster lihat, kan… tadi mereka masuk ke sini? Lima laki-laki tinggi besar bersayap…” kata Kakek. Suster hanya diam. Karna Suster itu memang tak melihat siapa-siapa memasuki kamar ICU. “Mereka memberi saya ini,” Kakek memperlihatkan sebutir kurma. Kurma nabi, kaka Kakek.
***
SAYAteringat beberapa tahun lalu.
Mba Rin, istri Mas Moko, kakak sulungku, mengalami masalah persalinan. Bayinya melintang, kata dokter, dan harus operasi. Lalu Kakek muncul, memberinya sebutir kurma. Mba Rin yang sudah terlihat lelah dan pasrah, perlahan tak lagi merasa kesakitan. Kemudian melahirkan dengan lancar.
Pernah pula Tante Ida, yang tinggal di Jombang, menelpon malam-malam: Kakek barusan datang menjenguk anaknya yang panas. Kakek mengusap keningnya, kemudian pergi. Dua jam setelahnya panas Ibra berangsur lenyap. Sumpah, sepanjang malam itu, aku melihat kakek hanya duduk tiduran di kursi goyangnya.
Kakek bisa berada di dua tempat sekaligus, kata Einda. Ia bisa muncul begitu saja saat kita membutuhkan. Lalu sepupuku itu bercerita, betapa pernah suatu kali ia sakit dua hari sebelum ujian kelulusan SMA. Kakek tiba-tiba muncul di kamar kostnya, memberinya segelas air putih, dan ia tertidur. Saya bermimpi berada di tempat yang begitu tenang dan nyaman. Besok paginya saya sudah bugar! Semasa kanak, kakak-kakakku juga sering bercerita kalau Kakek kerap muncul malam-malam ke kamar, memberi mereka es krim atau cokelat. Es krim dan cokelat itu, tiba-tiba saja sudah ada di tangan Kakek.
“Sulap! Itu sulap,” kataku.
“Itu mukjizat,” kata mereka, “Kakek berbakat jadi nabi.”
Kakek terkekeh ketika mendengar itu. “Jangan pernah punya cita-cita jadi nabi,” katanya. “Tidak enak jadi nabi. Karna tidak semua orang menyukai.”
***
KALAU punya mukjizat, pastilah Kakek tak tergolek seperti ini – seolah suara dari masa kecilku muncul kembali. Tubuh Kakek terlihat begah dan membengkak. Seperti ada tumpukan jerami yang dimasukkan ke dalam perut dan dadanya. Seolah seluruh makanan yang selama ini disantapnya dijejalkan semuanya ke tubuh Kakek. Tongseng, sate klatak, empal, paru, kikil dan sop buntut, kepala kambing bacem, gulai dan tengkleng…
Bahkan seorang nabi pun pernah sakit – aku seperti mendengar suara berbisik di belakangku. Aku bisa merasakan nafas lembut merambati tengkukku. Aku yakin ada seseorang berdiri di belakangku. Kakek?
Tidak. Kulihat Kakek terbaring di ranjang. Akankah ia sebentar lagi mati? Bila iya, bahkan menjelang kematiannya pun wajahnya tak berubah: terlihat bersih. Sepanjang yang saya ingat, wajah Kakek memang nyaris tak pernah berubah. Seperti tak tersentuh usia. Sampai saat ini wajahnya masih wajah yang aku kenal saat aku kanak-kanak: sekilas terasa jenaka karena suka tertawa, rambutnya putih, juga alisnya. Ia tak memelihara jenggot dan kumis. Klimis. Matanya bening bulat, mata yang selalu gembira. Wajah agak bundar. Dengan tahi lalat mirip butir beras ketan hitam di dahi kiri. Ketika Nenek mulai sakit-sakitan, Kakek seperti tak berubah. Ada yang bilang karena Kakek punya kesaktian. Tetapi seingatku tak ada yang aneh dari keseharian Kakek. Ia tak suka kungkum atau nyepi untuk semedi. Tak kulihat ia melakukan ritual-ritual mistis tertentu. Pati geni atau sejenisnya. Tak pernah kulihat ia sibuk dengan jimat atau barang-barang pusaka keramat. Bahkan, di banding Nenek, Kakek termasuk tak rajin ibadah. Saat waktu shalat, malah sering kulihat Kakek tetep duduk-duduk klempas-klempus menikmati rokoknya. “Ibadah Kakek ya berbuat baik… itu saja,” pernah kudengar ia bicara begitu saat ditanya para sepupuku.
Kupandangi wajah Kakek. Seperti ingin belajar mengenalnya kembali.
“Kau tahu…,” kudengar ia bergumam, matanya masih memejam. Aku kaget, menyangka ia tidur. “Kau tahu, kenapa kita membutuhkan orang lain? Karna dokter pun tak bisa mengobati dirinya sendiri. Kita selalu membutuhkan orang lain, itulah kenapa kita mesti baik pada orang lain.”
Jari-jari gemetar Kakek menyentuh lenganku.
“Terimakasih mau datang.”
Ada yang jauh lebih dalam dari kepedihan.
“Aku selalu melihat ada yang berkelebat, di luar sana. Menunggu di sebalik jendela. Dan tadi…Tadi kulihat ia berdiri di belakangmu…”
Kugenggam tangan Kakek.
“Lihatlah…”  Pandangannya mengarah jendela, dan entahlah, seperti ada tangan gaib yang perlahan memaksaku menoleh. Kesiur angin menerobos, korden bergoyang dan sekelebat bayangan merambat gelap. Tak kulihat apa-apa. Selain tugur pepohonan dan bentangan kesunyian. Cahaya terasa lamur.
“Maukah kau kali ini, mendengarkan ceritaku?”
Suaranya memelan. Aku membungkuk, ke arah bibirnya, takut tak mendengar kata terakhirnya.
Dengarlah, mereka mendekat…
Rasa kantuk seperti angin lembut. Suara Kakek menjauh, tinggal dengung AC memenuhi ruangan. Aku meriap merasakan ada yang perlahan masuk melalui jendela. Pastilah aku tak lagi mampu menahan kantuk dan lelah, sampai kurasakan ada tangan halus mengusap wajahku, membangunkanku.
Ia tampak letih. Berdiri di bawah pohon putih, yang menjulang hingga ke langit wana ganih. Pandanganku seketika terpesona pada bayi-bayi bersayap jelita yang bermunculan dari balik cakrawala. Bayi-bayi itu terbang mengitari Kakek yang melangkah pelan menuju batu besar. Bayi-bayi bersayap jelita memberi isyarat agar Kakek berbaring, sementara angin sejuk berhembus dari sayap-sayap lembut itu.
Aku menyaksikan bayi-bayi itu membedah dada Kakek, mengeluarkan jantungnya. Ada bejana kecil, dan bayi-bayi itu mencuci jantung Kakek. Aku memejam, merasakan tubuhku melayang. Seperti memasuki rongga sunyi. Merasakan tidur panjang abadi.
***
HARI masih gelap – atau telah kembali gelap? – ketika aku terbangun oleh suara-suara percakapan. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji. Seperti suara Ibu. Aku mencoba mengenali sekeliling. Kekelaman yang bagai tabir berlapis-lapis. Setiap suara seperti merembes dari tabir yang berbeda-beda. Kulihat arak-arakan orang membawa keranda, menjauh. Jeritan yang bagai jerit iblis. Bau harum melati mengapung. Kusaksikan beberapa suster yang sibuk memberesi tabung oksigen dan membawa keluar kereta dorong., kemudian lenyap begitu saja, raib ke sebalik tabir kegelapan yang hampa. Ranjang itu kosong. Pasti mereka telah membawa Kakek ke kamar mayat. Aku berlari, melesat – seakan melangkah di hamparan awan – sampai kelelahan dan lesap dalam gelap.
Aku terbangun seperti orang yang telah berabad-abad ditidurkan..
Kudapati Ibu, Mas Jo dan istrinya, Mba Rin, Mas Moko, Einda dan hampir seluruh kerabatku menggerombol berbincang pelan. Pelan-pelan aku mulai mengenali, di mana aku berada: kamarku.
Ibu pelan-pelan memelukku. Aku terisak. Saat itulah, aku mendengar suara tawa Kakek.
Aku hanya bengong ketika Ibu bercerita keadaan Kakek. “Kau kira Kakek mati, ya?”
Adakah ini mukjizat….
“Dokter juga heran dengan jantung kakek. Tiba-tiba sudah bersih, ibaratnya seperti baru dicuci…”
Di ruang tengah kulihat Kakek tertawa-tawa gembira dikerubuti tujuh keponakanku yang tampak bagai segerombolan kurcaci. Lama aku terdiam memandanginya. Aku seperti mendengar kelepak sayap bayi-bayi itu terbang menjauh.
Jakarta, 2010

No comments: