PEMBINAAN
PENDIDIKAN
KARAKTER
DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
BAGIAN I
UMUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang
memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya
manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai
dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3,
yang menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berdasarkan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap
jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan
pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral,
sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard
University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan
seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft
skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar
20 persen oleh hard skill dan sisanya
80 persen oleh soft skill. Bahkan
orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa
mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik
pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang
menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan
penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan
baik. Pembinaan
karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta
direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya,
pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan
pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya
untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian
Pendidikan Nasional mengembangkan grand
design pendidikan karakter untuk setiap jalur,
jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design
menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan,
dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) ,
Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter
perlu dilakukan dengan mengacu pada grand
design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari
30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah
berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama
ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan
karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam
mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar,
dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter
terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal
lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu
belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil
belajar, terutama pembentukan karakter peserta didik sesuai tujuan pendidikan
dapat dicapai.
Pendidikan karakter dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan
ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta
didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler
merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu
pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan
dan berkewenangan di sekolah. Melalui
kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan
prestasi peserta didik.
Pendidikan
karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud
adalah bagaimana pendidikan
karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara
memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian,
pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen
terkait lainnya. Dengan
demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam
pendidikan karakter di sekolah.
Menurut
Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan
akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter
yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif
solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah
diimplementasikan di sekolah.
B. Tujuan
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan
mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan
karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari.
Pendidikan
karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya
sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah. Budaya sekolah
merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat
luas.
C. Sasaran
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama
(SMP) di Indonesia negeri maupun swasta.
Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan
administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah
yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik
dijadikan sebagai best practices,
yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia,
kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang
baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas,
pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
D. Indikator Keberhasilan
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui
pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar
Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
- Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
- Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
- Menunjukkan sikap percaya diri;
- Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
- Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
- Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
- Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
- Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
- Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
- Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
- Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
- Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
- Menghargai karya seni dan budaya nasional;
- Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
- Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
- Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
- Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
- Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
- Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
- Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
- Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian
pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah, yaitu perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
E. Dasar Hukum
Dasar hukum dalam pembinaan pendidikan
karakter antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
2.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
4. Permendiknas No 39 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kesiswaan
5. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
6. Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan
7. Rencana
Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2010-2014
8. Renstra Kemendiknas Tahun 2010-2014
9. Renstra
Direktorat Pembinaan SMP Tahun 2010 - 2014
BAB II
PENDIDIKAN
KARAKTER
Menurut Ali Ibrahim Akbar (2009), praktik pendidikan di Indonesia
cenderung lebih berorentasi pada
pendidikan berbasis hard skill
(keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient
(IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft
skill yang tertuang dalam emotional
intelligence (EQ), dan spiritual
intelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi
lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian.
Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi
yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring
perkembangan jaman, pendidikan yang hanya berbasiskan hard skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi
dalam akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis
pada pengembangan soft skill
(interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak
bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft
skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat
menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh
keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft
skill).
Sebenarnya
dalam kurikulum KTSP berbasis kompetensi jelas dituntut muatan soft skill. Namun penerapannya tidaklah
mudah sebab banyak tenaga pendidik tidak memahami apa itu soft skill dan bagaimana penerapannya. Soft skill merupakan bagian ketrampilan dari seseorang yang lebih
bersifat pada kehalusan atau sensitifitas perasaan seseorang terhadap
lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft
skill lebih mengarah kepada ketrampilan psikologis maka dampak yang
diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa
dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja
sama, membantu orang lain dan lainnya. Keabstrakan kondisi tersebut
mengakibatkan soft skill tidak mampu
dievaluasi secara tekstual karena indikator-indikator soft skill lebih mengarah pada proses eksistensi seseorang dalam
kehidupannya. Pengembangan soft skill
yang dimiliki oleh setiap orang tidak sama sehingga mengakibatkan tingkatan soft skill yang dimiliki masing-masing
individu juga berbeda.
A.
Konsep Pendidikan Karakter
Pengertian karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter
adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan
berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu
memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan
nilai-nilai seperti reflektif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri,
hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat
dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga
mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif
sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME,
dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai “the deliberate use of all
dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu,
pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam
menyelenggarakan pendidikan harus
berkarakter.
Menurut David
Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai
berikut: “character education is the
deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core
ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care
deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in
the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru,
yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003),
pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria
manusia yang baik, warga masyarakat
yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai
sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam
konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari
karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat
absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter
dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter
dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar
tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya),
tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama,
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan
kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia
terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada
nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai
yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat
relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak
menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter
pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena
sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat,
seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut
telah sampai pada taraf yang sangat
meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi
pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam
pembentukan kepribadian peserta didik
melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada
umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter
pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat
di antara mereka tentang pendekatan dan
modus pendidikannya. Berhubungan dengan
pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan
klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan
penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial
tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand
design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial
kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam
konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) ,
Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut.
Para pakar telah mengemukakan
berbagai teori tentang pendidikan moral.
Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang,
ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional,
pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan
moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi
tersebut, Elias (1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni:
pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi
didasarkan pada tiga unsur moralitas,
yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan
upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu
peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
B.
Nilai-nilai Karakter
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma
sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah
teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama,
yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Berikut
adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud dan diskripsi ringkasnya.
1.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a.
Religius
Pikiran,
perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada
nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a.
Jujur
Perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan
pihak lain
b.
Bertanggung jawab
Sikap dan
perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
c.
Bergaya hidup sehat
Segala upaya
untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan
menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
d.
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e.
Kerja
keras
Perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan
sebaik-baiknya.
f.
Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap
pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
g.
Berjiwa
wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau
berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi
untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya.
h.
Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir dan
melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika
untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah
dimiliki.
i.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang
tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
j.
Ingin
tahu
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k.
Cinta
ilmu
Cara berpikir,
bersikap dan
berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a.
Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang
menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri
sendiri serta orang lain.
b.
Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c.
Menghargai karya dan prestasi orang lain
Sikap
dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d.
Santun
Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata
perilakunya ke semua orang.
e.
Demokratis
Cara berfikir, bersikap
dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a.
Peduli
sosial dan lingkungan
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5. Nilai kebangsaan
5. Nilai kebangsaan
Cara
berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a.
Nasionalis
Cara berfikir,
bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b.
Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/ hormat
terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk
fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
C.
Tahapan Pengembangan Karakter
Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk
dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam
penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya
anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik
akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk
melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan
memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak melalui
orang tua dan lingkungannya.
Karakter dikembangkan
melalui tahap pengetahuan (knowing),
pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter
yang baik (components of good character)
yaitu moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling atau perasaan
(penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.
Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat
dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan,
menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang
termasuk dalam moral knowing yang
akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral
feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi
manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang
harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita
orang lain (emphaty), cinta kebenaran
(loving the good), pengendalian diri
(self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan
hasil (outcome) dari dua komponen
karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan
yang baik (act morally) maka harus
dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will),
dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter
dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen
karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau
bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai
perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap
Tuhan YME, dirinya, sesama,
lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional (lihat Diagram 1).
Kebiasaan berbuat
baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara
sadar menghargai pentingnya nilai karakter (valuing).
Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk
berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya
ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang
lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu
sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek
perasaan (domain affection atau emosi).
Komponen ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau
keinginan untuk berbuat kebaikan. Pendidikan karakter yang baik dengan demikian
harus melibatkan bukan saja aspek “knowing
the good” (moral knowing), tetapi
juga “desiring the good” atau “loving the
good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu
semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni
mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan moral action. Dengan
kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki manusia, maka akan makin
membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.
Diagram 1. Keterkaitan komponen moral dalam
pembentukan karakter
Pengembangan
karakter sementara ini direalisasikan dalam pelajaran agama, pelajaran
kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang program utamanya cenderung pada
pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan mendalam sampai ke penghayatan
nilai secara afektif. Menurut Mochtar Buchori (2007), pengembangan karakter
seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai
secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke
praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam
diri anak, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan
nilai. Peristiwa ini disebut Conatio,
dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah
konatif. Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang
sistematis, dimulai dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan
menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif.
Ki Hajar Dewantoro menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
D. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Mempromosikan
nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2.
Mengidentifikasi
karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3.
Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4.
Menciptakan komunitas
sekolah yang memiliki kepedulian
5.
Memberi kesempatan
kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik
6.
Memiliki cakupan
terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta
didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
7.
Mengusahakan
tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
8.
Memfungsikan seluruh
staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk
pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama
9.
Adanya pembagian
kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan
karakter
10.
Memfungsikan keluarga
dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
11.
Mengevaluasi karakter
sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi
karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik.
E. Pendidikan
Karakter Secara Terpadu melalui Pembelajaran
Di dalam
pembelajaran dikenal tiga istilah, yaitu: pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran. Pendekatan pembelajaran bersifat lebih umum, berkaitan dengan
seperangkat asumsi berkenaan dengan hakikat pembelajaran. Metode pembelajaran
merupakan rencana menyeluruh tentang penyajian materi ajar secara sistematis
dan berdasarkan pendekatan yang ditentukan. Teknik pembelajaran adalah kegiatan
spesifik yang diimplementasikan dalam kelas/lab sesuai dengan pendekatan dan
metode yang dipilih. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, pendekatan lebih
bersifat aksiomatis, metode bersifat prosedural, dan teknik bersifat
operasional (Abdul Majid, 2005). Namun demikian, beberapa ahli dan praktisi
seringkali tidak membedakan ketiga istilah tersebut secara tegas. Seringkali, mereka
menggunakan ketiga istilah tersebut dengan pengertian yang sama.
Setidaknya
terdapat dua pertanyaan mendasar yang
perlu diperhatikan kaitannya dengan
proses pembelajaran, yaitu: (1) sejauhmana efektivitas guru dalam
melaksanakan pengajaran, dan (2) sejauhmana siswa dapat belajar dan menguasi
materi pelajaran seperti yang diharapkan. Proses pembelajaran dikatakan efektif
apabila guru dapat menyampaikan keseluruhan materi pelajaran dengan baik dan
siswa dapat menguasai substansi tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dewasa
ini dikenal berbagai istilah mengenai pembelajaran, antara lain: pembelajaran
kontekstual, pembelajaran PAKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis
kompetensi, dan sebagainya. Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan
pembelajaran yang dirancang secara sistematis sesuai dengan tujuan,
karakteristik materi pelajaran dan karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh
Guru yang profesional dengan dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga
dapat mencapai hasil belajar secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran
profesional menggunakan berbagai teknik atau metode dan media serta sumber
belajar yang bervariasi sesuai dengan karakteristik materi dan peserta didik.
Karakteristik
pembelajaran profesional antara lain: Efektif,
Efisien, aktif, Kreatif, Inovatif, Menyenangkan, dan Mencerdaskan. Tujuan pembelajaran dapat dicapai oleh peserta
didik sesuai yang diharapkan. Seluruh kompetensi (kognisi, afeksi, dan
psikomotor) dikuasai peserta didik. Aktivitas pembelajaran
berfokus dan didominasi Siswa. Guru secara aktif memantau,
membimbing,dan mengarahkan kegiatan
belajar siswa. Pembaharuan dan penyempurnaan
dalam pembelajaran (strategi, materi, media & sumber belajar, dll) perlu
terus dilakukan agar dicapai hasil belajar yang optimal.
Pendidikan karakter secara terpadu di dalam
pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran
akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam
tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang
berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada
dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai
kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta
didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan
menjadikannya perilaku.
Dalam struktur kurikulum SMP, pada dasarnya setiap mata pelajaran memuat
materi-materi yang berkaitan dengan karakter. Secara subtantif, setidaknya
terdapat dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan budi
pekerti dan akhlak mulia, yaitu pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn). Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung
(eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan
peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Integrasi pendidikan
karakter pada mata-mata pelajaran di SMP mengarah pada internalisasi
nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari
tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
F.
Pendidikan Karakter Secara Terpadu melalui Manajemen Sekolah
Menurut H. Koontz & O’Donnel (Aldag, 1987), manajemen berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan yang dilakukan melalui dan dengan orang lain. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Siregar (1987) menyatakan bahwa manajemen adalah proses yang membeda-bedakan atas: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan dan pengendalian, dengan memanfaatkan ilmu dan seni, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Manajemen juga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen terkandung pengertian pemanfaatan sumberdaya untuk tercapainya tujuan. Sumberdaya adalah unsur-unsur dalam manajemen, yaitu: manusia (man), bahan (materials), mesin/peralatan (machines), metode/cara kerja (methods), modal uang (money), informasi (information). Sumberdaya bersifat terbatas, sehingga tugas manajer adalah mengelola keterbatasan sumber daya secara efisien dan efektif agar tujuan tercapai.
Proses manajemen adalah proses yang berlangsung terus menerus, dimulai dari: membuat perencanaan dan pembuatan keputusan (planning); mengorganisasikan sumberdaya yang dimiliki (organizing); menerapkan kepemimpinan untuk menggerakkan sumberdaya (actuating); melaksanakan pengendalian (controlling). Proses di atas sering disebut dengan pendekatan Barat dengan konsep POAC (Planning-Organizing-Actuating-Controlling), berbeda dengan pendekatan Jepang yang dikenal dengan pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Action). Dalam konteks dunia pendidikan, yang dimaksudkan dengan manajemen pendidikan/sekolah adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan dalam upaya untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pada uraian
sebelumnya, keterkaitan antara
nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter (knowing, feeling, dan action) terhadap
Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, kebangsaan, dan keinternasionalan
membentuk suatu karakter manusia yang unggul (baik). Penyelenggaraan pendidikan karakter
memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana
pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.
Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan
karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan
dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.
Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi: (a)
nilai-nilai karakter kompetensi lulusan, (b) muatan kurikulum nilai-nilai karakter,
(c) nilai-nilai karakter dalam pembelajaran, (d) nilai-nilai karakter pendidik dan tenaga
kependidikan, dan (e) nilai-nilai karakter
pembinaan kepesertadidikan.
G. Pendidikan
Karakter Secara Terpadu melalui Ekstrakurikuler
Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di
luar mata pelajaran dan pelayanan konseling
untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang
secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.
Visi kegiatan ekstra kurikuler
adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya
kemandirian dan kebahagiaan peserta didik
yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Misi ekstra
kurikuler adalah (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh
peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi,
bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengeskpresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri
dan atau kelompok.
Fungsi Kegiatan Ekstra
Kurikuler meliputi:
a. Pengembangan, yaitu
fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan
dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat
mereka.
b. Sosial, yaitu fungsi
kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab
sosial peserta didik.
c. Rekreatif, yaitu fungsi
kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan
menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d. Persiapan karir, yaitu
fungsi kegiatan ekstra kurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta
didik.
Prinsip Kegiatan Ekstra Kurikuler
a. Individual, yaitu
prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat
peserta didik masing-masing.
b. Pilihan, yaitu prinsip
kegiatan ekstra kurikuler yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara
sukarela peserta didik.
c. Keterlibatan aktif,
yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang menuntut keikutsertaan peserta
didik secara penuh.
d. Menyenangkan, yaitu
prinsip kegiatan ekstra kurikuler dalam suasana yang disukai
dan mengembirakan peserta didik.
e. Etos kerja, yaitu
prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang membangun semangat peserta didik untuk
bekerja dengan baik dan berhasil.
f. Kemanfaatan sosial,
yaitu prinsip kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan untuk kepentingan
masyarakat.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KARAKTER
Penyelenggaraan
pendidikan karakter di SMP dilakukan secara terpadu melalui 3 (tiga) jalur,
yaitu: Pembelajaran, Manajemen Sekolah, dan
Ekstrakurikuler. Langkah
pendidikan karakter meliputi: Perancangan,
Implementasi, Evaluasi, dan Tindak lanjut.
A. Perancangan
Beberapa hal
yang perlu dilakukan dalam tahap penyusunan rancangan antara lain:
1. Mengidentifikasi jenis-jenis
kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan pendidikan karakter yang perlu
dikuasai, dan direalisasikan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
hal ini, program pendidikan karakter peserta didik direalisasikan dalam tiga
kelompok kegiatan, yaitu (a) terpadu dengan pembelajaran pada mata pelajaran;
(b) terpadu dengan manajemen sekolah; dan (c) terpadu melalui kegiatan ekstra
kurikuler.
2. Mengembangkan materi pembelajaran
untuk setiap jenis kegiatan di sekolah
3. Mengembangkan rancangan pelaksanaan
setiap kegiatan di sekolah (tujuan, materi, fasilitas, jadwal,
pengajar/fasilitator, pendekatan pelaksanaan, evaluasi)
4. Menyiapkan fasilitas pendukung
pelaksanaan program pembentukan karakter di sekolah
Perencanaan kegiatan program pendidikan karakter di sekolah mengacu
pada jenis-jenis kegiatan, yang setidaknya memuat unsur-unsur: Tujuan, Sasaran
kegiatan, Substansi kegiatan, Pelaksana kegiatan dan
pihak-pihak yang terkait, Mekanisme Pelaksanaan, Keorganisasian, Waktu dan Tempat, serta fasilitas pendukung.
- Implementasi
Pendidikan
karakter di sekolah dilaksanakan dalam tiga kelompok kegiatan, yaitu:
1. Pembentukan karakter yang terpadu
dengan pembelajaran pada mata pelajaran;
Berbagai hal
yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dll)
dirancang dan diimplementasikan dalam pembelajaran mata pelajaran-mata
pelajaran yang terkait, seperti Agama, PKn, IPS, IPA, Penjas Orkes, dan
lain-lainnya. Hal ini dimulai dengan pengenalan nilai secara kognitif,
penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata
oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Pembentukan Karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah;
Berbagai hal
yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dll)
dirancang dan diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, seperti
pengelolaan: siswa, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi,
serta pengelolaan lainnya.
3.
Pembentukan karakter yang terpadu dengan Ekstra Kurikuler
a. Beberapa kegiatan ekstra kurikuler
yang memuat pembentukan karakter antara
lain:
b. Olah raga (sepak bola, bola voli,
bulu tangkis, tenis meja, dll),
c. Keagamaan (baca tulis Al Qur’an,
kajian hadis, ibadah, dll),
d. Seni Budaya (menari, menyanyi,
melukis, teater),
e. KIR,
f.
Kepramukaan,
g.
Latihan Dasar Kepemimpinan
Peserta didik (LDKS),
h.
Palang Merah Remaja (PMR),
i.
Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka (PASKIBRAKA),
j.
Pameran, Lokakarya,
k.
Kesehatan, dan lain-lainnya.
C.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring merupakan serangkaian kegiatan untuk
memantau proses pelaksanaan program pembinaan pendidikan karakter. Fokus
kegiatan monitoring adalah pada kesesuaian proses pelaksanaan program
pendidikan karakter berdasarkan tahapan atau prosedur yang telah ditetapkan.
Evaluasi cenderung untuk mengetahui sejauhmana efektivitas program pendidikan
karakter berdasarkan pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Hasil monitoring
digunakan sebagai umpan balik untuk menyempurnakan proses pelaksanaan program
pendidikan karakter.
Monitoring dan Evaluasi
secara umum bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas program
pembinaan pendidikan karakter sesuai
dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Lebih lanjut secara rinci tujuan
monitoring dan evaluasi pembentukan karakter adalah sebagai berikut:
1.
Melakukan pengamatan dan
pembimbingan secara langsung keterlaksanaan program pendidikan
karakter di sekolah.
2.
Memperoleh gambaran mutu pendidikan
karakter di sekolah secara umum.
3.
Melihat kendala-kendala
yang terjadi dalam pelaksanaan program dan mengidentifikasi masalah yang ada,
dan selanjutnya mencari solusi yang komprehensif agar program pendidikan
karakter dapat tercapai.
4.
Mengumpulkan dan
menganalisis data yang ditemukan di lapangan untuk menyusun rekomendasi terkait
perbaikan pelaksanaan program pendidikan karakter ke depan.
5.
Memberikan masukan kepada
pihak yang memerlukan untuk bahan pembinaan dan peningkatan kualitas program pembentukan
karakter.
6.
Mengetahui tingkat
keberhasilan implementasi program pembinaan pendidikan karakter di sekolah.
D.
Tindak Lanjut
Hasil monitoring dan evaluasi dari implementasi
program pembinaan pendidikan karakter digunakan sebagai acuan untuk
menyempurnakan program, mencakup penyempurnaan rancangan, mekanisme
pelaksanaan, dukungan fasilitas, sumber daya manusia, dan manajemen sekolah
yang terkait dengan implementasi program.
BAGIAN II
PENDIDIKAN KARAKTER
SECARA TERPADU DALAM
PEMBELAJARAN
BAB
I
PENGERTIAN
PENDIDIKAN KARAKTER
SECARA
TERPADU DALAM
PROSES PEMBELAJARAN
A.
Pengertian Pendidikan Karakter secara Terintegrasi di
Dalam Proses Pembelajaran
Yang dimaksud dengan pendidikan
karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan
nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan
penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari
melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas
pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk
menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga
dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Dalam struktur kurikulum kita,
ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembanngan budi pekerti
dan akhlak mulia, yaitu pendidikan Agama dan PKn. Kedua mata pelajaran tersebut
merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan
nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan
menginternalisasi nilai-nilai. Pada
panduan ini, integrasi pendidikan karakter pada mata-mata pelajaran
selain pendidikan Agama dan PKn yang dimaksud lebih pada fasilitasi
internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses
pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Pengenalan
nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahan-bahan ajar tetap diperkenankan,
tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan atau diutamakan adalah
penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan di dalam proses
pembelajaran.
B.
Nilai-nilai Karakter untuk Siswa
Pada Bagian I telah disebutkan
bahwa telah teridentifikasi 80 butir karakter yang terbagi menjadi lima
kategori. Walaupun idealnya semua nilai tersebut diinternalisasikan pada
peserta didik melalui proses pembelajaran, karena jumlahnya besar,
memfasilitasi internalisasi semua nilai tersebut secara eksplisit menjadi sangat berat. Oleh karena itu sekolah dapat
mengidentifikasi nilai-nilai utama sebagai fokus
internalisasi. Nilai-nilai yang
dijadikan fokus tersebut dapat berupa nilai-nilai yang secara nasional dan/atau universal (lintas agama/keyakinan dan lintas
bangsa/ras/etnis) dianut. Nilai-nilai lainnya dapat terinternalisasikan secara
otomatis sebagai akibat iringan/ikutan dari proses internalisasi nilai-nilai utama tersebut.
Penekanan internalisasi
nilai-nilai utama tertentu pada pendidikan
karakter telah dianut oleh sejumlah negara. Australia, misalnya, melalui Values Education yang dikembangkannya
menekankan pada diperkenalkan, disadari, dan diinternalisasinya sembilan
karakter utama, yaitu:
1.
Care and compassion
2.
Doing your best
3.
Fair go
4.
Freedom
5.
Honesty and trustworthiness
6.
Integrity
7.
Respect
8.
Responsibility
9.
Understanding, tolerance, and inclusion
Berikut merupakan contoh nilai-nilai
karakter yang dapat dijadikan sekolah sebagai nilai-nilai utama yang
diambil/disarikan dari butir-butir SKL dan mata pelajaran-mata pelajaran SMP
yang ditargetkan untuk diinternalisasi oleh siswa:
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a.
Religius
2.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a.
Jujur
b.
Bertanggung jawab
c.
Bergaya hidup sehat
d.
Disiplin
e.
Kerja keras
f.
Percaya diri
g.
Berjiwa wirausaha
h.
Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
i.
Mandiri
j.
Ingin tahu
k.
Cinta ilmu
3.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a.
Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
b.
Patuh pada aturan-aturan sosial
c.
Menghargai
karya dan prestasi orang lain
d.
Santun
e.
Demokratis
4.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a.
Peduli sosial dan lingkungan
5.
Nilai kebangsaan
a.
Nasionalis
b. Menghargai
keberagaman
C.
Distribusi
Butir-butir Karakter Utama ke Dalam Mata Pelajaran
Pada Bagian I disebutkan bahwa
ada banyak nilai yang perlu ditanamkan pada siswa. Apabila semua nilai tersebut harus ditanamkan dengan
intensitas yang sama pada semua mata pelajaran, penanaman nilai menjadi sangat berat. Oleh karena itu perlu dipilih sejumlah nilai utama sebagai pangkal tolak bagi penanaman nilai-nilai
lainnya. Selain itu, untuk membantu fokus penanaman nilai-nilai utama tersebut, nilai-nilai tersebut perlu dipilah-pilah
atau dikelompokkan untuk kemudian diintegrasikan pada mata pelajaran-mata
pelajaran yang paling cocok. Dengan kata lain, tidak setiap mata pelajaran
diberi integrasi semua butir nilai tetapi beberapa nilai utama saja walaupun
tidak berarti bahwa nilai-nilai yang lain tersebut tidak diperkenankan
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran tersebut. Dengan demikian setiap mata
pelajaran memfokuskan pada penanaman
nilai-nilai utama tertentu yang paling dekat
dengan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan. Tabel 1.1 menyajikan
contoh distribusi nilai-nilai utama ke dalam mata pelajaran.
Tabel 1.1. Contoh Distribusi Nilai-Nilai Utama ke Dalam Mata Pelajaran
Mata
Pelajaran
|
Nilai
Utama
|
1. Pendidikan Agama
|
Religius, jujur, santun, disiplin, bertanggung jawab, cinta ilmu, ingin
tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada aturan social, bergaya
hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, peduli
|
2. PKn
|
Nasionalis, patuh pada aturan sosial, demokratis, jujur, menghargai
keragaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
|
3. Bahasa Indonesia
|
Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif,
percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis
|
4. IPS
|
Nasionalis, menghargai keberagaman, Berpikir logis,
kritis, kreatif, dan inovatif, peduli social dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras
|
5. IPA
|
ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman,
disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta ilmu
|
6. Bahasa Inggris
|
Menghargai
keberagaman, santun, percaya diri, mandiri, bekerjasama, patuh
pada aturan social
|
7. Seni Budaya
|
Menghargai keberagaman, nasionalis, dan menghargai karya
orang lain, ingin tahu,
jujur, disiplin, demokratis
|
8. Penjasorkes
|
Bergaya
hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri,
mandiri, menghargai karya dan prestasi orang lain
|
9. TIK/Keterampilan
|
Berpikir logis, kritis,
kreatif, dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya
orang lain
|
10. Muatan Lokal
|
Menghargai keberagaman,
menghargai karya orang lain, nasionalis, peduli
|
BAB II
PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER SECARA TERINTEGRASI DI
DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Integrasi pendidikan karakter
di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Di antara
prinsip-prinsip yang dapat diadopsi dalam membuat perencanaan pembelajaran
(merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian dalam silabus, RPP, dan bahan
ajar), melaksanakan proses pembelajaran, dan evaluasi adalah prinsip-prinsip
pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) yang selama ini telah diperkenalkan kepada guru,
termasuk guru-guru SMP seluruh Indonesia sejak 2002. Prinsip-prinsip tersebut secara
singkat dijelaskan berikut ini.
1.
Konstruktivisme
(Constructivism)
Konstrukstivisme adalah teori belajar yang menyatakan
bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari pengalaman-pengalaman
baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Seorang guru perlu mempelajari budaya,
pengalaman hidup dan pengetahuan, kemudian menyusun pengalaman belajar yang
memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut.
Pemahaman konsep yang mendalam dikembangkan melalui
pengalaman-pengalaman belajar autentik dan bermakna yang mana guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa untuk mendorong aktivitas berpikirnya. Pembelajaran
hendaknya dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan.
Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan,
bukan guru. Pembelajaran dirancang dalam bentuk siswa bekerja, praktik
mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan,
mendemonstrasikan, menciptakan gagasan, dan sebagainya.
Tugas guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah
memfasilitasi proses pembelajaran dengan:
(a)
menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
(b)
memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri,
(c)
menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri
dalam belajar.
2.
Bertanya
(Questioning)
Penggunaan pertanyaan untuk menuntun berpikir siswa lebih
baik daripada sekedar memberi siswa informasi untuk memperdalam pemahaman
siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang fenomena, belajar bagaimana
menyusun pertanyaan yang dapat diuji, dan belajar untuk saling bertanya tentang
bukti, interpretasi, dan penjelasan. Pertanyaan digunakan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya
berguna untuk:
(a)
menggali informasi, baik teknis maupun akademis
(b)
mengecek pemahaman siswa
(c)
membangkitkan respon siswa
(d) mengetahui
sejauh mana keingintahuan siswa
(e)
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
(f)
memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki
guru
(g)
menyegarkan kembali pengetahuan siswa
3.
Inkuiri
(Inquiry)
Inkuiri adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi
pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari pertanyaan yang muncul. Jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut didapat melalui siklus menyusun dugaan, menyusun
hipotesis, mengembangkan cara pengujian hipotesis, membuat pengamatan lebih
jauh, dan menyusun teori serta konsep yang berdasar pada data dan pengetahuan.
Di dalam pembelajaran berdasarkan inkuiri, siswa belajar
menggunakan keterampilan berpikir kritis saat mereka berdiskusi dan
menganalisis bukti, mengevaluasi ide dan proposisi, merefleksi validitas data,
memproses, membuat kesimpulan. Kemudian menentukan bagaimana mempresentasikan
dan menjelaskan penemuannya, dan menghubungkan ide-ide atau teori untuk
mendapatkan konsep.
Langkah-langkah kegiatan inkuiri:
a)
merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
b)
Mengamati atau melakukan observasi
c)
Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain
d)
Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada
pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain
4.
Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Masyarakat
belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan belajar agar
terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan
untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan cermat, dan
bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam kelompoknya.
Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih baik daripada
belajar secara individual.
Masyarakat
belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang
terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan
oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari
teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi jika tidak ada pihak
yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk
bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu. Semua pihak mau saling
mendengarkan.
Praktik
masyarakat belajar terwujud dalam:
(a)
Pembentukan kelompok kecil
(b)
Pembentukan kelompok besar
(c)
Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter,
petani, polisi, dan lainnya)
(d) Bekerja
dengan kelas sederajat
(e)
Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
(f)
Bekerja dengan masyarakat
5.
Pemodelan
(Modeling)
Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar
orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan
siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan apa
yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru memodelkan
bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru
bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Contoh praktik pemodelan di kelas:
a)
Guru olah raga memberi contoh berenang gaya kupu-kupu di
hadapan siswa
b)
Guru PPKN mendatangkan seorang veteran kemerdekaan ke
kelas, lalu siswa diminta bertanya jawab dengan tokoh tersebut
c)
Guru Geografi menunjukkan peta jadi yang dapat digunakan
sebagai contoh siswa dalam merancang peta daerahnya
d)
Guru Biologi mendemonstrasikan penggunaan thermometer
suhu badan
6.
Refleksi
(Reflection)
Refleksi memungkinkan cara berpikir tentang apa yang
telah siswa pelajari dan untuk membantu siswa menggambarkan makna personal
siswa sendiri. Di dalam refleksi, siswa menelaah suatu kejadian, kegiatan, dan
pengalaman serta berpikir tentang apa yang siswa pelajari, bagaimana merasakan,
dan bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru tersebut. Refleksi dapat
ditulis di dalam jurnal, bisa terjadi melalui diskusi, atau merupakan kegiatan
kreatif seperti menulis puisi atau membuat karya seni.
Realisasi refleksi dapat diterapkan, misalnya pada akhir
pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Hal
ini dapat berupa:
(a)
pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh siswa
hari ini
(b)
catatan atau jurnal di buku siswa
(c)
kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari ini
(d) diskusi
(e)
hasil karya
7.
Penilaian
Autentik (Authentic Assessment)
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu
istilah/terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian
alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan
kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau
mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat
ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah. Berbagai simulasi
tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang
ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik
seharusnya dapat menjelaskan bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan
dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian
yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari
beberapa teknik penilaian.
Berikut adalah deskripsi
singkat cara integrasi yang dimaksudkan.
A.
Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini silabus, RPP,
dan bahan ajar disusun. Baik silabus, RPP, dan bahan ajar dirancang agar muatan
maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter.
Cara yang mudah untuk membuat silabus, RPP, dan bahan ajar yang berwawasan
pendidikan karakter adalah dengan mengadaptasi silabus, RPP, dan bahan ajar
yang telah dibuat/ada dengan menambahkan/mengadaptasi kegiatan pembelajaran
yang bersifat memfasilitasi dikenalnya nilai-nilai, disadarinya pentingnya
nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai. Berikut adalah contoh model
silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah mengintegrasikan pendidikan karakter ke
dalamnya.
1.
Silabus
Silabus dikembangkan dengan
rujukan utama Standar Isi (Permen Diknas nomor 22 tahun 2006). Silabus memuat
SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian,
penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar
yang dirumuskan di dalam silabus pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi
peserta didik menguasai SK/KD. Agar juga memfasilitasi terjadinya pembelajaran
yang membantu peserta didik mengembangkan karakter, setidak-tidaknya perlu dilakukan
perubahan pada tiga komponen silabus berikut:
a.
Penambahan dan/atau modifikasi kegiatan
pembelajaran sehingga ada kegiatan pembelajaran yang mengembangkan karakter
b.
Penambahan dan/atau modifikasi indikator
pencapaian sehingga ada indicator yang terkait dengan pencapaian
peserta didik dalam hal karakter
c.
Penambahan dan/atau modifikasi
teknik penilaian sehingga ada teknik penilaian yang dapat mengembangkan dan/atau mengukur perkembangan karakter
Penambahan dan/atau adaptasi
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan teknik penilaian harus
memperhatikan kesesuaiannya dengan SK dan KD yang harus dicapai oleh peserta
didik. Kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan teknik penilaian yang
ditambahkan dan/atau hasil modifikasi tersebut harus bersifat lebih memperkuat
pencapaian SK dan KD tetapi sekaligus mengembangkan karakter. Contoh model
silabus yang dimaksud dapat dilihat pada Lampiran
1.
2.
RPP
RPP disusun berdasarkan silabus
yang telah dikembangkan oleh sekolah. RPP secara umum tersusun atas SK, KD,
tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah
pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Seperti yang terumuskan pada
silabus, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran,
langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian yang dikembangkan
di dalam RPP pada dasarnya dipilih untuk menciptakan proses pembelajaran untuk
mencapai SK dan KD. Oleh karena itu, agar RPP memberi petunjuk pada guru dalam
menciptakan pembelajaran yang berwawasan pada pengembangan karakter, RPP
tersebut perlu diadaptasi. Seperti pada adaptasi terhadap silabus, adaptasi
yang dimaksud antara lain meliputi:
a.
Penambahan dan/atau modifikasi
kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan pembelajaran yang mengembangkan karakter
b.
Penambahan dan/atau modifikasi
indikator pencapaian sehingga ada indicator yang terkait dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter
c.
Penambahan dan/atau modifikasi
teknik penilaian sehingga ada teknik penilaian yang dapat mengembangkan dan/atau mengukur perkembangan karakter
Contoh model RPP dapat dilihat
pada Lampiran 2.
3.
Bahan/buku ajar
Bahan/buku ajar merupakan
komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya
terjadi pada proses pembelajaran. Banyak
guru yang mengajar dengan semata-mata mengikuti urutan penyajian dan
kegiatan-kegiatan pembelajaran (task)
yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang
berarti.
Melalui program Buku Sekolah
Elektronik (BSE) atau buku murah, dewasa ini Depdiknas telah membeli hak cipta
sejumlah buku ajar dari hampir semua mata pelajaran yang telah memenuhi
kelayakan pemakaian berdasarkan penilaian BSNP dari para penulis. Guru
dianjurkan menggunakan buku-buku tersebut dalam proses pembelajaran. Untuk
membantu sekolah mengadakan buku-buku tersebut, pemerintah telah memberikan BOS
Buku kepada sekolah.
Walaupun buku-buku tersebut
telah memenuhi sejumlah kriteria kelayakan - yaitu kelayakan isi, penyajian,
bahasa, dan grafika – bahan-bahan ajar tersebut masih belum secara memadai mengintegrasikan
pendidikan karakter di dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau
melaksanakan pembelajaran dengan berpatokan pada kegiatan-kegiatan pembelajaran
pada buku-buku tersebut, pendidikan karakter secara memadai belum berjalan.
Oleh karena itu, sejalan dengan apa-apa yang telah dirancang pada silabus dan
RPP yang berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi
yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambah
kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. Cara lainnya
adalah dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan belajar pada buku ajar
yang dipakai.
Sebuah kegiatan belajar (task),
baik secara eksplisit atau implisit terbentuk atas enam komponen.
Komponen-komponen yang dimaksud adalah:
2.
Input
3.
Aktivitas
4. Setting
5.
Peran guru
6.
Peran peserta didik
Dengan demikian,
perubahan/adaptasi kegiatan belajar yang dimaksud menyangkut perubahan pada
komponen-komponen tersebut.
Secara umum, kegiatan belajar
yang potensial dapat mengembangkan karakter peserta didik memenuhi
prinsip-prinsip atau kriteria berikut.
1.
Tujuan
Dalam hal tujuan, kegiatan
belajar yang menanamkan nilai adalah apabila tujuan kegiatan tersebut tidak
hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi juga sikap. Oleh karenanya, guru
perlu menambah orientasi tujuan setiap atau sejumlah kegiatan belajar dengan
pencapaian sikap atau nilai tertentu, misalnya kejujuran, rasa percaya diri,
kerja keras, ketabahan, kesabaran, saling menghargai, dan sebagainya.
2.
Input
Input dapat didefinisikan
sebagai bahan/rujukan bagi peserta didik sebagai titik tolak dilaksanakan
aktivitas belajar. Input tersebut dapat berupa teks lisan maupun tertulis,
grafik, diagram, gambar, model, charta, benda sesungguhnya, film, dan
sebagainya. Input yang dapat memperkenalkan nilai-nilai adalah yang tidak hanya
menyajikan subject matter, tetapi
yang juga menguraikan nilai-nilai yang terkait dengan subject matter tersebut.
3.
Aktivitas
Aktivitas belajar adalah apa
yang dilakukan oleh peserta didik (bersama dan/atau tanpa guru) dengan input
belajar untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar yang dapat membantu
peserta didik menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas-aktivitas yang
antara lain mendorong terjadinya autonomous
learning dan bersifat learner-centered.
Pembelajaran yang memfasilitasi autonomous
learning dan berpusat pada siswa secara otomatis akan membantu siswa
memperoleh banyak nilai. Contoh-contoh aktivitas belajar yang memiliki
sifat-sifat demikian antara lain diskusi, eksperimen, pengamatan/observasi,
debat, presentasi oleh siswa, dan mengerjakan
proyek.
4. Setting
Setting
berkaitan dengan kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan, berapa lama, apakah
secara individu, berpasangan, atau dalam kelompok. Masing-masing setting berimplikasi terhadap
nilai-nilai yang terdidik. Setting
waktu penyelesaian tugas yang pendek (sedikit), misalnya akan menjadikan
peserta didik terbiasa kerja dengan cepat sehingga menghargai waktu dengan
baik. Sementara itu kerja kelompok dapat menjadikan siswa memperoleh kemampuan
bekerjasama, saling menghargai, dan lain-lain.
5.
Peran guru
Peran guru dalam kegiatan
belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit. Pernyataan
eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena
cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap
peran guru pada kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak
tersedia.
Peran guru yang memfasilitasi
diinternalisasinya nilai-nilai oleh siswa antara lain guru sebagai fasilitator,
motivator, partisipan, dan pemberi umpan balik. Mengutip ajaran Ki Hajar
Dewantara, guru yang dengan efektif dan efisien mengembangkan karakter siswa
adalah mereka yang ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
6.
Peran peserta didik
Seperti halnya dengan peran
guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar, peran siswa biasanya tidak
dinyatakan secara eksplisit juga. Pernyataan eksplisit peran siswa pada umumnya
ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit,
guru perlu melakukan inferensi terhadap peran siswa pada kebanyakan kegiatan
pembelajaran.
Agar peserta didik
terfasilitasi dalam mengenal, menjadi peduli, dan menginternalisasi karakter,
peserta didik harus diberi peran aktif dalam pembelajaran. Peran-peran tersebut
antara lain sebagai partisipan diskusi, pelaku eksperimen, penyaji hasil-hasil
diskusi dan eksperimen, pelaksana proyek, dsb.
Contoh bahan ajar yang
mengintegrasikan pendidikan karakter dapat dilihat pada Lampiran 3.
B.
Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, dipilih dan
dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang
ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan diaplikasikan pada
semua tahapan pembelajaran karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut
sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai-nilai. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses
pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik. Diagram
2.1 berikut menggambarkan penanaman karakter melalui pelaksanaan pembelajaran.
Diagram 2.1: Penanaman Karakter melalui Pelaksanaan Pembelajaran
1. Pendahuluan
Berdasarkan
Standar Proses, pada kegiatan pendahuluan, guru:
a.
menyiapkan
peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
b.
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang
akan dipelajari;
c.
menjelaskan
tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan
d.
menyampaikan
cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
Ada sejumlah cara yang dapat
dilakukan untuk mengenalkan nilai, membangun kepedulian akan nilai, dan
membantu internalisasi nilai atau karakter pada tahap pembelajaran ini. Berikut
adalah beberapa contoh.
a.
Guru datang tepat waktu (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin)
b.
Guru mengucapkan salam dengan
ramah kepada siswa ketika memasuki ruang kelas (contoh nilai yang ditanamkan: santun, peduli)
c.
Berdoa sebelum membuka
pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: religius)
d.
Mengecek kehadiran siswa (contoh nilai yang ditanamkan: disiplin,
rajin)
e.
Mendoakan siswa yang tidak
hadir karena sakit atau karena halangan lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: religius, peduli)
f.
Memastikan bahwa setiap siswa
datang tepat waktu (contoh nilai yang
ditanamkan: disiplin)
g.
Menegur siswa yang terlambat
dengan sopan (contoh nilai yang
ditanamkan: disiplin, santun,
peduli)
h.
Mengaitkan materi/kompetensi
yang akan dipelajari dengan karakter
i.
Dengan merujuk pada silabus,
RPP, dan bahan ajar, menyampaikan butir karakter yang hendak dikembangkan
selain yang terkait dengan SK/KD
2.
Inti
Berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007, kegiatan inti pembelajaran terbagi
atas tiga tahap, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa pada tahap eksplorasi peserta didik difasilitasi untuk
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan sikap melalui kegiatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada tahap elaborasi, peserta didik
diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih
lanjut melalui sumber-sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya
sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan
dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik memperoleh umpan balik atas
kebenaran, kelayakan, atau keberterimaan dari pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang diperoleh oleh siswa.
Berikut beberapa ciri proses
pembelajaran pada tahap eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi yang potensial
dapat membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai yang diambil dari Standar
Proses.
a.
Eksplorasi
1)
Melibatkan
peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi
yang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar
dari aneka sumber (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, berfikir logis, kreatif,
kerjasama)
2)
Menggunakan
beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain (contoh nilai yang ditanamkan:
kreatif, kerja
keras)
3)
Memfasilitasi
terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru,
lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling
menghargai, peduli lingkungan)
4)
Melibatkan
peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan:
rasa percaya diri, mandiri)
5)
Memfasilitasi
peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan (contoh nilai yang ditanamkan:
mandiri, kerjasama, kerja keras)
b.
Elaborasi
1)
Membiasakan
peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang
bermakna (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu, kreatif, logis)
2)
Memfasilitasi
peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan
gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya
diri, kritis, saling menghargai, santun)
3)
Memberi
kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak
tanpa rasa takut (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis)
4)
Memfasilitasi
peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (contoh nilai yang ditanamkan: kerjasama,
saling menghargai, tanggung jawab)
5)
Memfasilitasi
peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar (contoh nilai yang ditanamkan:
jujur, disiplin, kerja keras, menghargai)
6)
Memfasilitasi
peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis,
secara individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, bertanggung jawab, percaya diri, saling
menghargai, mandiri, kerjasama)
7)
Memfasilitasi
peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan:
percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
8)
Memfasilitasi
peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang
dihasilkan (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri,
kerjasama)
9)
Memfasilitasi
peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya
diri peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri,
kerjasama)
c.
Konfirmasi
1)
Memberikan
umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun
hadiah terhadap keberhasilan peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai,
percaya diri, santun, kritis, logis)
2)
Memberikan
konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui
berbagai sumber (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, logis, kritis)
3)
Memfasilitasi
peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah
dilakukan (contoh nilai yang ditanamkan: memahami kelebihan dan kekurangan)
4)
Memfasilitasi
peserta didik untuk lebih jauh/dalam/luas memperoleh pengetahuan, keterampilan,
dan sikap, antara lain dengan guru:
a)
berfungsi
sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang
menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, santun);
b)
membantu
menyelesaikan masalah (contoh nilai yang ditanamkan: peduli);
c)
memberi
acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh nilai yang ditanamkan:
kritis);
d)
memberi
informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu); dan
e)
memberikan
motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).
3.
Penutup
Dalam
kegiatan penutup, guru:
a.
bersama-sama
dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran (contoh nilai yang ditanamkan:
mandiri, kerjasama, kritis, logis);
b.
melakukan
penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten
dan terprogram (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, mengetahui kelebihan dan
kekurangan);
c.
memberikan
umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: saling menghargai,
percaya diri, santun, kritis, logis);
d.
merencanakan
kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan,
layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan
e.
menyampaikan
rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar internalisasi nilai-nilai terjadi dengan lebih intensif
selama tahap penutup.
a.
Selain simpulan yang terkait
dengan aspek pengetahuan, agar peserta didik difasilitasi membuat pelajaran
moral yang berharga yang dipetik dari pengetahuan/keterampilan dan/atau proses
pembelajaran yang telah dilaluinya untuk memperoleh pengetahuan dan/atau
keterampilan pada pelajaran tersebut.
b.
Penilaian tidak hanya mengukur
pencapaian siswa dalam pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pada
perkembangan karakter mereka.
c.
Umpan balik baik yang terkait
dengan produk maupun proses, harus menyangkut baik kompetensi
maupun karakter, dan dimulai dengan aspek-aspek positif yang ditunjukkan oleh
siswa.
d.
Karya-karya siswa dipajang
untuk mengembangkan sikap saling menghargai karya orang lain dan rasa percaya
diri.
e.
Kegiatan
tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan
konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok
diberikan dalam rangka tidak hanya terkait dengan pengembangan kemampuan
intelektual, tetapi juga kepribadian.
f.
Berdoa
pada akhir pelajaran.
Ada beberapa hal lain yang
perlu dilakukan oleh guru untuk mendorong dipraktikkannya nilai-nilai. Pertama,
guru harus merupakan seorang model dalam karakter. Dari awal hingga akhir
pelajaran, tutur kata, sikap, dan perbuatan guru harus merupakan cerminan dari
nilai-nilai karakter yang hendak ditanamkannya.
Kedua, pemberian reward kepada siswa yang menunjukkan
karakter yang dikehendaki dan pemberian punishment
kepada mereka yang berperilaku dengan karakter yang tidak dikehendaki. Reward dan punishment yang dimaksud dapat berupa ungkapan verbal dan non
verbal, kartu ucapan selamat (misalnya classroom
award) atau catatan peringatan, dan sebagainya. Untuk itu guru harus
menjadi pengamat yang baik bagi setiap siswanya selama proses pembelajaran.
Ketiga, harus dihindari
olok-olok ketika ada siswa yang datang terlambat atau menjawab pertanyaan
dan/atau berpendapat kurang tepat/relevan. Pada sejumlah sekolah ada kebiasaan
diucapkan ungkapan Hoo … oleh siswa
secara serempak saat ada teman mereka yang terlambat dan/atau menjawab
pertanyaan atau bergagasan kurang berterima. Kebiasaan tersebut harus dijauhi
untuk menumbuhkembangkan sikap bertanggung
jawab, empati, kritis, kreatif, inovatif, rasa
percaya diri, dan sebagainya.
Selain itu, setiap kali guru
memberi umpan balik dan/atau penilaian kepada siswa, guru harus mulai dari
aspek-aspek positif atau sisi-sisi yang telah kuat/baik pada pendapat, karya,
dan/atau sikap siswa. Guru memulainya dengan memberi penghargaan pada hal-hal yang
telah baik dengan ungkapan verbal dan/atau non-verbal dan baru kemudian
menunjukkan kekurangan-kekurangannya dengan ‘hati’. Dengan cara ini sikap-sikap
saling menghargai dan menghormati, kritis, kreatif, percaya diri, santun, dan
sebagainya akan tumbuh subur.
C.
Evaluasi Pencapaian Belajar
Pada dasarnya authentic
assessment diaplikasikan. Teknik dan instrumen penilaian yang dipilih dan dilaksanakan tidak hanya mengukur
pencapaian akademik/kognitif siswa, tetapi juga mengukur perkembangan kepribadian siswa. Bahkan
perlu diupayakan bahwa teknik penilaian yang diaplikasikan mengembangkan
kepribadian siswa sekaligus.
Pedoman penilaian untuk lima
kelompok mata pelajaran yang diterbitkan oleh BSNP (2007) menyebutkan bahwa
sejumlah teknik penilaian dianjurkan untuk dipakai oleh guru menurut kebutuhan.
Tabel 2.1 menyajikan teknik-teknik penilaian yang dimaksud dengan bentuk-bentuk
instrumen yang dapat dikembangkan oleh guru.
Di antara teknik-teknik
penilaian tersebut, beberapa dapat digunakan untuk menilai pencapaian peserta
didik baik dalam hal pencapaian akademik maupun kepribadian. Teknik-teknik
tersebut terutama observasi (dengan lembar observasi/lembar pengamatan),
penilaian diri (dengan lembar penilaian diri/kuesioner), dan penilaian
antarteman (lembar penilaian antarteman).
Tabel 2.1. Teknik dan bentuk instrumen penilaian
Teknik Penilaian
|
Bentuk Instrumen
|
Tes Tertulis
|
· Pilihan ganda
· Benar-salah
· Menjodohkan
· Pilihan singkat
· Uraian
|
Tes Lisan
|
· Daftar pertanyaan
|
Tes Kinerja
|
· Tes tulis keterampilan
· Tes identifikasi
· Tes simulasi
· Tes uji petik kerja
|
Penugasan individual atau kelompok
|
·
Pekerjaan
rumah
· Proyek
|
Observasi
|
· Lembar observasi/lembar pengamatan
|
Penilaian portofolio
|
· Lembar penilaian portofolio
|
Jurnal
|
· Buku catatan jurnal
|
Penilaian diri
|
· Lembar penilaian diri/kuesioner
|
Penilaian antarteman
|
· Lembar penilaian antarteman
|
Berikut adalah contoh
instrumen (penilaian diri) yang dapat dipakai, diadaptasi, dan dikembangkan
lebih lanjut oleh sekolah dalam melakukan penilaian.
How much do you improve in the following aspects after
learning the materials in this unit? Put a tick (√) in the appropriate box.
No.
|
Aspect
|
Very Much
|
Much
|
Little
|
1.
|
Asking for opinions
|
|||
2.
|
Giving opinions
|
|||
3.
|
Asking about facts
|
|||
4.
|
Giving facts
|
|||
5.
|
Patience
|
|||
6.
|
Independence
|
|||
7.
|
Confidence
|
|||
8.
|
… .
|
No comments:
Post a Comment